20 July 2007

Memory of SAR Argopuro 2006

Teman-teman penikmat Blog Mahitala,
Kalau saya boleh mencoba menarik kembali hari-hari di tahun lalu, saya teringat pada sebuah suasana yang rasanya cukup heboh dan cukup membuat hiruk-pikiuk di sekitar kita. SAR Argopuro yang berlangsung selama 52 hari dari tanggal 1 Febuari 2006 hingga tanggal 24 Maret 2006 menyisakan sejuta kenangan bagi kita semua. Saat ini saya mencoba menampilkan kembali foto-foto yang moga-moga tetap dapat menjaga semangat kita sebagai sebuah keluarga....
Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu SAR Argopuro ini. Sungguh, tanpa kalian semua, SAR ini pasti tidak akan berjalan dengan baik. Terima kasih...

Selamat menikmati...

salam,
Audy Tanhati
M 2000511 ATSA


Gambar 1 (dok : Mahitala Unpar)
Posko awal SAR Argopuro yang menumpang sebuah pos polisi di Bremi. Almarhum Sancosh (kemeja kotak-kotak di tengah) yang menjabat sebagai SAR Mission Coordinator (SMC) sedang memberikan briefing kepada SRU 4 yang akan menuju Cisentor (pos On Scene Coomander - OSC). Di sini, struktur SAR sudah dicoba diterapkan dengan sangat baik walau kelengkapan SAR masih sangat minim. Hubungan dengan pemerintahan setempat sudah dilakukan. Sambil terus mengirimkan SRU, posko SAR terus dibenahi menjadi jauh lebih layak.


Gambar 2 (dok : Mahitala Unpar)
Posko SAR Baderan yang berfungsi sebagai posko logistik SAR Argopuro. Di posko ini adalah titik start bagi para porter untuk mengirimkan dukungan logistik bagi para tim SAR di Cisentor. Posko SAR Baderan ini adalah sebuah rumah dinas bagi para petugas Konservasi Dan Sumber Daya Alam Pegunungan Hyang. Di posko ini pula, Vinsensius (survivor) memulai perjalannnya menuju ke Argopuro. Di sinilah survivor terlihat untuk terakhir kalinya.


Gambar 3 (dok : Mahitala Unpar)
Suasana briefing yang dilakukan oleh Bowo (duduk di kursi) kepada SRU 8 yang akan memulai perjalan mereka ke Posko OSC di Cisentor yang dimulai dari Posko SAR Baderan. Tujuan pengiriman SRU 8 melalui jalur Baderan adalah untuk mengumpulkan data-data yang kiranya ditinggalkan oleh survivor. Dan jalur utama pengiriman SRU tetap dilaksanakan dari posko SAR Krucil karena dinilai lebih cepat untuk tiba di Posko OSC di Cisentor.


Gambar 4 (dok : Mahitala Unpar)
Didieb Ajibaskoro (duduk di lantai di depan motor) sedang mencoba memastikan kelengkapan informasi yang dibutuhkan oleh SRU 8 yang akan segera meluncur ke Posko OSC di Cisentor melalui jalur Baderan.


Gambar 5 (Dok : Mahitala Unpar)
Kegiatan packing konsumsi di Sekeretariat Mahitala Unpar Bandung yang dilakukan oleh Norman, salah satu tim pendukung di Bandung untuk turut membantu kelancaran tim SAR Mahitala Unpar yang terus diberangkatkan.


Gambar 6 (Dok : Mahitala Unpar)
Pelepasan Tim SAR Mahitala gelombang ke 3 dilakukan di depang Sekertariat Mahitala Unpar Bandung. Pengiriman Tim SAR Mahitala terus dilakukan secara pergelombang untuk terus membantu dan mendukung opersi SAR Argopuro.


Gambar 7 (Dok : Mahitala Unpar)
Papan informasi yang ada di Sekretariat Mahitala Unpar Bandung mengenai laporan cuaca, penghubung, perkiraan pergerakan survivor, data survivor, pergerakan operasi SAR, jadwal keberangkatan alat transpotasi dan informasi-informasi penting lainnya.


Gambar 8 (Dok : Mahitala Unpar)
Alat komunikasi yang digunakan oleh Posko SAR Mahitala di Bandung. Tampak sebelah kanan adalah radio 2 meter band yang digunakan untuk koordinasi antar pecinta alam seBandung Raya mengenai operasi SAR ini. Dan sebelah kiri adalah radio Single Side Band (SSB) rakitan milik Bapak Omen (Wanadri) yang bertujuan untuk direct coomunication ke Posko SAR Krucil dan Posko OSC di Cisentor.


Gambar 9 (Dok : Mahitala Unpar)
Spanduk dan petunjuk jalan menuju ke posko SAR Krucil.




Gambar 10 (Dok : Mahitala Unpar)
Suasana Posko SAR Krucil ketika akan melepas SRU 9 menuju titik start pendakian Argopuro melalui jalur Bremi.


Gambar 11 (dok : Mahitala Unpar)
Suasana di dalam posko SAR Krucil (posko pengendali utama) yang dibuat senyaman dan seinformatif mungkin yang memudahkan para staf SMC dan SRU dalam bekerja mengumpulkan informasi, melakukan perencanaan, dan membuat laporan.


Gambar 12 (dok : Mahitala Unpar)
Kesibukan di Dapur Umum yang terdapat di Posko SAR Krucil.


Gambar 13 (dok : Mahitala Unpar)
Alat pendukung komunikasi yang ada di Posko SAR Krucil yang terdiri dari radio 2 meter band (kiri) yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan posko relay Mahapena di Jember dan Posko SAR Baderan. Dan radio SSB (kanan) yang berfungsi untuk komunikasi langsung dengan Posko OSC Cisentor, Posko SAR Mahitala (Bandung), dan Posko SAR Wanadri (Bandung).


Gambar 14 (Dok : Tim SAR Jogja)
Mbah Retno, pemilik rumah yang rumahnya dijadikan Posko SAR Krucil di Bremi. Beliau dengan sukarela turut membantu operasi SAR ini dengan memberikan nasehat-nasehat yang berhubungan dengan keadaan Desa Bremi dan Operasi SAR Argopuro ini.


Gambar 15 (dok : Mahitala Unpar)
Tim SAR sedang melakukan pencarian dengan teknik hasty untuk mengumpulkan data yang lebih banyak mengenai keberadaan survivor.


Gambar 16 (dok : Mahitala Unpar)
SRU 8 sedang melakukan tugas pertamanya yaitu menuju Posko OSC di Cisentor melalui jalur Baderan untuk melaporkan kedatangannya dan siap bertugas.


Gambar 17 (dok : Mahitala Unpar)
Para porter (penduduk asli desa Baderan) yang siap untuk melakukan pengiriman logistik ke sekian kalinya ke Posko OSC di Cisentor.


Gambar 18 (dok : Mahitala Unpar)
Para porter yang dengan sigapnya memulai pengiriman logistik menuju Posko OSC di Cisentor. Tanpa jasa mereka, rasanya operasi SAR Argopuro pasti akan menghadapi banyak sekali kendala.


Gambar 19 (dok : Mahitala Unpar)
2 orang porter tampak sedang membawa genset dan solar untuk supply kebutuhan listrik supaya penerangan dan alat komunikasi dapat berfungsi di osko OSC di Cisentor selama SAR Argopuro berlangsung. Walaupun apa yang mereka bawa sangat berat, kecepatan mereka bergerak tidak kalah dengan kecepatan para SRU yang sedang menuju Posko OSC Cisentor.


Gambar 20 (dok : Mahitala Unpar)
Setelah genset tiba di Posko OSC di Cisentor, maka langsung saja penerangan disiapkan oleh staf OSC. Tampak didalam gambar Mario yang menjabat sebagai OSC ( menggunakan torniket warna hijau) sedang berkoordinasi dengan Ambrin Siregar (topi hitam) dan Menir dari Wanadri (sedang merokok) mengenai rencana operasi selanjutnya.


Gambar 21 (dok : Mahitala Unpar)
Suasana briefing di Posko OSC di Cisentor yang dilakukan oleh OSC Mario (torniket hijau) yang mengawali kegiatan SAR Argopuro.


Gambar 22 (dok : Mahitala Unpar)
Sisi lain bentuk briefing kegiatan oleh OSC untuk mengawali kegiatan SAR Argopuro. Tampak briefing ini diikuti pula dengan serius oleh para porter yang sedang melepas lelah mengangkut kebutuhan logistik dari Baderan.


Gambar 23 (dok : Mahitala Unpar)
Toss penyemangat sebelum melepas keberangkatan para SRU untuk bertugas. Di sini seakan tidak ada perbedaan bagi kami para tim SAR. Kami semua melepaskan semua atribut organisasi, almamater, suku, jenis kelamin, ras dan agama untuk satu tujuan. Menemukan survivor.


Gambar 24 (dok : Mahitala Unpar)
Pencarian dilakukan hingga ke Puncak Rengganis untuk terus mencari survivor. Tampak dalam foto Eko Teguh (memakai tas) yang berasal dari SAR Mahameru, Malang tengah membicarakan pergerakan selanjutnya. Momen tersebut juga diabadikan oleh Nanang dari Wanadri (sedang memotret).


Gambar 25 (dok : Mahitala Unpar)
Selain daerah-daerah normal, tim SAR juga melakukan pencarian hingga ke goa-goa atau cerukan-cerukan. Tampak Abdian Sidabutar sedang mencari hingga ke dasar goa untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.


Gambar 26 (dok : Mahitala Unpar)
Lokasi-lokasi berbahaya yang juga tidak luput dari tim SAR Argopuro.


Gambar 27 (dok : Mahitala Unpar)
Suasana Puncak Arca (dekat dengan Puncak Argopuro). Menurut informasi yang dikumpulkan di Bandung, tempat ini juga merupakan tempat yang menjadi target survivor untuk dikunjungi.


Gambar 27 (Dok : Wanadri)
Sulitnya jalur pencarian dan minimnya peralatan pencarian kadang mempersulit tim SAR untuk bergerak lebih leluasa. Tetapi dengan berani dan tentu saja perencanaan keamanan yang matang membuat pergerakan tetap dilakukan dalam kondisi apapun. Bambang Eko (Wanadri) sedang memanjat tebing penghalang yang terdapat dalam daerah pencarian.


Gambar 28 (Dok : Wanadri)
Arfan (Wanadri), sedang mengumpulkan air yang dibutuhkan untuk minum dan masak. Daerah pencarian yang terdapat mata air permanen tidak menghalangi tim SAR untuk terus beraktifitas.


Gambar 29 (dok : Mahitala Unpar)
Penyusuran sungai Cisentor menuju Rawa Embik dilakukan untuk mencari mata air panas yang diduga menjadi salah satu lokasi yang dikunjungi oleh survivor.


Gambar 30 (dok : Mahitala Unpar)
Salah satu sisi kawah Rengganis yang menjadi salah satu prioritas daerah pencarian.


Gambar 31 (dok : Mahitala Unpar)
Tebing dengan ketinggian puluhan meter yang merupakan kawah purba di kawasan pegungungan Hyang.


Gambar 32 (dok : Mahitala Unpar)
Makan siang dan briefing singkat oleh SRU dilakukan di sela-sela pencarian.


Gambar 33 (dok : Mahitala Unpar)
Setelah satu hari pencarian, beberapa SRU yang tidak melakukan operasi malam atau flying camp di lapangan melakukan evaluasi mengenai pergerakan hari ini untuk mendapatkan informasi terbaru yang akan digunakan sebagai bahan acuan untuk pergerakan selanjutnya. Evaluasi ini biasanya dilakukan di pondok Cisentor yang merupakan Posko OSC. Di pondok ini pula survivor meninggalkan ransel dan alat-alat lainnya dan membawa beberapa peralatan penting untuk melakukan summit attack.


Gambar 34 (Dok : Wanadri)
Selain di dalam pondok, evaluasi dilakukan di api unggun. Terlihat pada foto, Klotok dari Wanadri sedang memberikan laporan pergerakan yang dilakukan oleh timnya.


Gambar 35 (dok : Mahitala Unpar)
Selain pencarian langsung di lapangan, di Bandung sendiri dilakukan doa bersama untuk kesuksesan pencarian dan keselamatan bagi survivor serta tim SAR yang ada di lapangan.


Gambar 36 (dok : Mahitala Unpar)
Daun Pulus atau daun Djancok yang banyak sekali ditemu di kawasan pegunungan Hyang ini. Daun ini menjadi momok bagi para tim SAR karena bila terkena daun ini, kulit akan terasa perih, panas dan gatal.


Gambar 37 (dok : Mahitala Unpar)
Doni Sau dari Mahitala Unpar (kiri) dan Dodi dari Wanadri sedang duduk di dekat bekas perapian yang diduga milik survivor yang terletak di antara puncak Argopuro dan puncak Arca.


Gambar 38 (dok : Mahitala Unpar)
Patung Arca yang terdapat di puncak Arca dan merupakan salah satu obyek yang diduga hendak dilihat oleh survivor.


Gambar 39 (dok : Mahitala Unpar)
Kawah Sijeding, mati yang terletak diantara kawasan puncak Argopuro dan puncak Rengganis.


Gambar 40 (dok : Mahitala Unpar)
Marker warna orange (pohon sebelah kiri) yang merupakan tanda lokasi ditemukannya gelas biru bertuliskan ACE HARDWARE yang merupakan milik survivor.


Gambar 41 (dok : Mahitala Unpar)
Jalan setapak menuju puncak Argopuro dan puncak Rengganis. Terlihat stringline warna merah yang bertujuan untuk menjebak survivor agar dapat berjalan kembali pada jalur yang benar langsung menuju paosko OSC di Cisentor.


Gambar 42 (dok : Mahitala Unpar)
Stringline warna merah yang dipasang dari posko OSC di Cisentor hingga kawasan puncak Argopuro dan Rengganis. Rasanya ini adalah stringline terpanjang yang pernah digunakan dalam oprasi SAR yang juga menghabiskan berpuluh-puluh bulung besar tali rafia warna merah.


Gambar 43 (dok : Mahitala Unpar)
Suasana Evaluasi Akhir SAR Vinsensius Argopuro - 2006 di posko SAR Krucil yang dihadiri oleh hampir semua peserta tim SAR untuk mengambil kesimpulan dan evaluasi dari apa yang telah dilakukan oleh tim SAR Argopuro selama ini.


Gambar 44 (dok : Mahitala Unpar)
Buto (bersarung coklat), SMC yang menggantikan almarhum Sancosh sedang melakukan evalusai dan pengumpulan data terhadap SRU yang selesai melaksanakan tugasnya di posko OSC di Cisentor.


Gambar 45 (dok : Mahitala Unpar)
Audy (mengenakan torniket hijau), wakil SMC dan Ananda (kacamata, baju hitam) sedang memimpin evaluasi akhir di posko SAR Krucil. Dan evaluasi kali ini juga dihadiri oleh Ketua Dewan Pengurus Mahitala Unpar, Sofyan (baju putih di belakang Ananda).


Gambar 46 (dok : Mahitala Unpar)
Hasil temuan tim SAR Argopuro selama operasi SAR. Tampak gelas warna biru milik survivor yang ditemukan oleh tim SAR.


Gambar 47 (dok : Mahitala Unpar)
Puncak Argopuro dilihat dari posko SAR Krucil, tempat operasi SAR Vinsensius Argopuro - 2006 berlangsung selama 52 hari. Walau tidak menemukan survivor, operasi SAR ini berjalan dengan sangat baik dan tentunya merupakan memori yang tidak mungkin kami lupakan sebagai Tim SAR gabungan dan Anggota Mahitala Unpar.

18 July 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian VII

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian VII :

Dingboche (4360 M) – Chhukhung Villages (4750 M) –

Chhukhung RI (5559 M)

Jarak : 8,5 Km

Waktu Tempuh : 3 jam + 3 jam (normal)


The more improbable the situation and greater the demands made on (the climber), the more sweetly the blood flows later in release from all that tension. The possibility of danger serves merely to sharpen his awareness and control. And perhaps this is the rationale of all risky sports. You deliberately raise the ante of effort and concentration in order as were, to clear your mind of trivialties.

It’s a small scale model for living, but with a difference : Unlike your routine life, where mistakes can usually be recouped and some kind of compromise patched up, your actions, for however brieft a period, are deadly serious.

A. Alvarez
The Savage God :
A Study of Suicide


“Dingboche” Pagi, Kamis 02 Nopember 2006 itu masih “buta” dan dingin begitu menusuk tulang, sebagian besar Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar masih bergelung nikmat didalam sleeping bag hangat masing-masing, tetapi “kehebohan” telah terjadi. Sujan tour guide leader kami dan Susanto menggedor pintu kamar Sani Handoko yang sekamar dengan Tjandra Laksanahadi (Didiet) untuk melaporkan bahwa George tidak sadar (nampaknya dari semalam sudah kritis). Mereka bergegas menuju kamar George yang sekamar dengan Susanto dan mendapati George tergolek lemah, tak berdaya, tidak ada respons yang berarti dan matanya sudah tak berkedip dan dominan warna putihnya. Tarikan nafasnya lemah, sulit dan terdengar suara seperti gemuruh air sungai Dudh Kosi dari dada George setiap menarik nafas. Mereka mencoba berkomunikasi tetapi tidak berhasil.

Pagi itu digelar rapat tidak resmi yang singkat dan kita memutuskan harus segera membawa turun George langsung ke Kathmandu dengan helikopter karena kondisi George benar-benar sangat gawat, tampaknya terlambat dalam hitungan jam akan berakibat sangat fatal dan akan menjadi penyesalan seumur hidup. Sani Handoko langsung berkoordinasi dengan Mr. Nava pimpinan First Environmental Trek Pte. Ltd di Kathmandu untuk mengatur pengiriman segera satu helikopter ke Pheriche untuk menjemput George.

Seperti yang sudah kita ketahui, hampir mustahil mengirim helikopter meskipun untuk penyelamatan nyawa manusia bila tidak ada yang menjamin pembayarannya (cash deposit) oleh seseorang / badan / organisasi di Kathmandu, karena biasanya semua tim pendaki berada di pegunungan. Sistim pembayaran adalah “cash before delivery” artinya, tidak ada uang tunai (US$) jangan harap ada helikopter terbang. Mr. Nava mengatur pengiriman helikopter, setelah lewat pembicaraan dengan Sani Handoko – Ketua Tim bahwa biaya penjemputan helikopter US$ 4500 akan dibayar tunai sekembalinya Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar di Kathmandu. Setelah menerima jaminan ini Mr. Nava “mampu” untuk mengirimkan helikopter tersebut ke Pheriche (4280 M).

Kesibukan pun terjadi dalam rangka mempersiapkan George untuk ditandu ke Pheriche (4280 M), desa di lembah sungai Khumbu Khola (ujung bawah area Khumbu – Glacier), sebelah barat Dingboche sekitar dua kilometer jauhnya yang dapat ditempuh satu jam perjalanan dari Dingboche. Sebagian anggota tim yang memang tidak mendaki Chhukhung RI memutuskan akan mengantar George ke Pheriche: yaitu Sani Handoko, Tjandra Laksanahadi, Suhanto, Mario yang didampingi 6 (enam) sherpa untuk “menggotong” George diatas tandu. Meskipun perjalanan dari Dingboche ke Pheriche relatif lebih mudah karena turun ke lembah sungai Khumbu Khola tetapi nyatanya “mengusung” tandu George cukup repot dan berat karena postur George yang tinggi besar itu.

Gambar 35 Himalayan Rescue Association Pheriche Clinic (4280 M).Tampak dari atas, Kamis 02 Nopember 2006
Himalayan Rescue Association dan Tokyo Medical College yang dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dan sarana inap yang cukup memadai amat membantu melayani para pendaki memeriksa kesehatan mereka. Klinik tersebut dikawal 2 (dua) orang dokter Amerika dan sejumlah Tim Medis Lokal

Pukul 08.30 rombongan George tiba di klinik yang dioperasikan oleh Himalayan Rescue Asociation (HRA) di Pheriche, yang juga terdapat Tokyo Medical College. Di klinik tersebut ada 2 (dua) orang dokter berkebangsaan Amerika yang berpraktek dibantu Tim tenaga Medis lokal, George langsung diperiksa ternyata ada 2 (dua) hal pokok yaitu kadar O2 dalam darah sangat rendah dan hal ini amat berbahaya untuk syaraf dan otak serta tingkat kesadaran George yang minim, dokter mengatakan harus segera diterbangkan ke Kathmandu. Didapat kabar bahwa persiapan evakuasi terus dilakukan di Kathmandu, helikopter hanya muat 2 (dua) orang selain pilot, menurut rencana Mr. Nava akan ikut terbang untuk jemput George.

Gambar 36
Tjandra Laksanahadi (Didiet) di depan klinik di Pheriche, Kamis 02 Nopember 2006
Pheriche adalah “highest point“ terakhir dimana para pendaki berkesempatan memeriksakan kondisi fisik untuk terakhir kalinya. Disini Didiet dan beberapa anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar memeriksakan kondisi fisiknya

Selama menunggu kedatangan helikopter, dokter di klinik Pheriche menginformasikan bahwa ada korban lagi seorang porter dari group lain yang diorganisir oleh perusahaan “trekking” lain “terjatuh” ke jurang sedalam 30 M dengan kepala nyaris “pecah” dan sudah “koma” selama 2 (dua) hari setelah kecelakaan.Tragisnya porter tersebut ditinggalkan begitu saja “terkapar” di klinik dan tidak diurus. Dokter menyatakan kalau hari ini tidak dibawa turun ke Kathmandu untuk menerima perawatan intensif di rumah sakit akan meninggal. Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar yang di Pheriche berembuk dan menyetujui untuk membawa korban porter itu dengan pertimbangan kemanusiaan. Keputusan diambil Mr. Nava tidak jadi ikut terbang ke Pheriche agar helikopter mampu mengangkut 2 (dua) orang, yaitu George dan porter yang koma tersebut. Sambil menunggu helikopter datang, Didiet dan beberapa rekan lain memeriksakan diri di klinik tersebut dengan biaya US$ 50 / orang, karena di Pheriche adalah kesempatan terakhir untuk memeriksakan diri sebelum menuju ke tempat yang lebih tinggi lagi.

Akhirnya Didiet mengutus porter kembali ke Dingboche dengan pesan agar anggota tim yang lain yang kondisinya kurang baik dan punya gejala AMS agar berangkat ke Pheriche untuk diperiksa. Cukup banyak yang berangkat ke Pheriche, antara lain: Tisi, Hani, Olin, Irsan, Irma, Susanto, dan Hasan sekalian menjenguk George. Ide Didiet cukup baik karena menyadari bahwa kondisi sebagian besar Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar di Dingboche ini, sudah “melorot” drastis.

Didiet yang nama lengkapnya Tjandra Laksanahadi adalah anggota Mahitala Angkatan Agni Loka, Sarjana Teknik Sipil Unpar lulusan tahun 1990, memang sudah matang dan berpengalaman. Hanya bekerja satu tahun di bidang Teknik Sipil yang kemudian memutuskan bergabung dengan Accenture Consulting Firm suatu perusahaan konsultan bergengsi waktu itu. Perusahaan ini awalnya bernama SGV Utomo, yang berganti nama menjadi Arthur Anderson, dan bagian consulting nya memisahkan diri dengan nama Anderson Consulting yang akhirnya berubah menjadi Accenture Consulting Firm.

Saat ini Didiet menjabat sebagai Senior Manager setelah bertugas selama 16 tahun di perusahaan Konsultan Multi National yang berbasis di Amerika itu. Suatu prestasi yang membanggakan. Bapak seorang anak yang bernama Reyhan (8 tahun) juga telah mendidik Reyhan untuk menjadi pecinta alam sejati, sadar & mencintai lingkungannya. Reyhan bersama Didiet sudah mengembara ke Gunung Halimun ketika Reyhan berusia 3 tahun, kemudian ke Way Kambas – Sumatera Selatan untuk lebih menggenal alam, satwa liarnya dan mengikuti program pelatihan & pendidikan di alam bebas oleh Pelopor Adventure Camp (PAC) yaitu perusahaan pelatihan manajemen dan pembentukan karakter di alam bebas (Outbound Training Center). Suatu pilihan yang pas telah dibuat Didiet bersama Aning, Ibu Reyhan yang juga bekerja sebagai pemasar produk asuransi dari Manulife Insurance.

George menunggu hampir 2 (dua) jam di klinik Pheriche sebelum helikopter datang sekitar pukul 10.00, hampir bersamaan dengan kedatangan anggota tim lainnya seperti : Hani, Tisi, Olin, Irsan, Irma, Susanto & Hasan yang sekaligus mengantar George terbang ke Kathmandu dan memeriksakan diri mereka, yang nantinya diketahui mereka terkena AMS ringan, baru dalam tahap pusing & mual. Dokter menyarankan bila besok pagi masih pusing maka tidak boleh melanjutkan perjalanan. Bila pusing hilang boleh terus melanjutkan pendakian ketempat yang lebih tinggi.

Suasana perpisahan dengan George amat mengharukan, sebagian rekan hanya diam membisu sambil mengigit bibir bawah, ada beberapa yang menghela nafas dalam dan menitikkan air mata menyaksikan helikopter yang membawa George dan korban porter, hilang lenyap dibatas lazuardi biru menuju Kathmandu. George didudukkan di kursi depan, samping kiri pilot, masih belum sepenuhnya sadar, sedangkan korban porter yang terjatuh ditidurkan dalam tandu dan diletakkan di bagian belakang helikopter, terbaring di lantai helikopter dengan kepala penuh balutan perban yang masih berdarah, dalam kondisi koma.

Gambar 37
George terbang ke Kathmandu, Kamis 02 Nopember 2006
Suasana saat mengantar George untuk kembali ke Kathmandu bersama porter group lain yang luka parah dikepala karena terjatuh di jurang sedalam 30 meter.
Haru biru menerpa perasaan kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar


Setelah melepas keberangkatan George & rombongan pertama ke Pheriche, 6 (enam) anggota Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar (Lily Nababan, Chaca, Tjandra Heru, Milug, Ian, dan BHP) dengan didampingi Sujan (Tour Guide) melanjutkan jadwal perjalanan hari ini, aklimatisasi ke Chhukhung Village (4750 M) dan Chhukhung RI (5559 M). Pagi itu cuaca kelabu seakan mengerti akan kondisi George, juga perasaan kami ketika memulai perjalanan ke Chhukhung Village yang berjarak 5 Km dengan jarak tempuh 3 (tiga) jam. Pemandangan hari itu benar-benar spektakuler karena dapat melihat puncak-puncak atap dunia dengan salju abadinya. Perjalanan diawali dengan mengikuti sungai Imja Khola kearah timur. Tampak Lhotse (8501 M) dikiri kami dan Ama Dablam (6856 M) dikanan dan kami berjalan diatas batuan koral di dasar lembah yang amat besar, menuju Imja Tze / Island Peak (6173 M). Setelah berjalan 3 Km, kami tiba didesa Bibre (4574 M), dari sini sosok Imja Tze (6173 M) sangat jelas & menawan.



Gambar 38
Milug di Bibre (4574 M),dan Ama Dablam (6856 M), Kamis 02 Nopember 2006
Milug Tri Sardjono dengan gayanya yang khas, berpose didepan Ama Dablam (6856 M) dalam perjalanan ke Bibre (4574 M) setelah melewati lembah sungai Imja Khola

Pukul 11.30 kami bertujuh tiba di Chhukhung Village (4750 M), setengah jam perjalanan dari Bibre (4574 M). Chhukhung dalam bahasa Nepali artinya “places between two rivers”, adalah tempat diantara dua sungai, yaitu Imja Khola dan Niyam Khola dan diujung dasar Lhotse – Nuptse Glacier. Kami makan siang di Chhukhung Village RI (5753 M) sebelum melanjutkan perjalanan ke Puncak Chhukhung, gunung berbatu cadas hitam di utara Chhukhung Village itu amat menantang (seperti gunung-gunung di Rocky Mountains Amerika Selatan).


Gambar 39 –
“Places between Two Rivers“ & Lily Nababan, Kamis 02 Nopember 2006
Lily G. Nababan benar-benar menikmati kesendiriannya di sungai Imja Khola sebelum Chhukhung Village. Tampak gundukan salju di sebagian tempat



Gambar 40
“Places between Two Rivers“ tampak dari bukit, Kamis 02 Nopember 2006

Tempat ini benar-benar “sunyi“ dan memendam sejuta makna “Places between Two Rivers“, tampak di kejauhan : Tjandra Heru, Ian, porter, dibelakangnya : Lily, Sujan, Chaca dan Milug

Dari Chhukhung RI (5539 M) atau Chhukung View Point (5350 M) bila cuaca bagus dapat dilihat dengan jelas paling tidak keagungan 4 (empat) puncak atap dunia yaitu : Mt. Everest (8848 M) – puncak tertinggi didunia, Lhotse (8501 M) – puncak ke 4 (empat) dunia, Makalu (8463 M) – puncak ke 5 (lima) dunia, dan Cho – Oyu (8201 M) – puncak ke 6 (enam) dunia, semua puncak itu punya ketinggian diatas 8200 M tentunya pengalaman itu tidak dapat dilupakan seumur hidup.

Gambar 41
Island Peak (6173 M) dengan burung gagaknya, Kamis 02 Nopember 2006

Island Peak / Imja Tze (6173 M) merupakan puncak gunung yang sering digunakan untuk “aklimatisasi“ oleh para pendaki sebelum ke Mt. Everest (8848 M)

Terkenal dengan burung gagaknya yang agresif dan suka melubangi tenda / benda-benda yang ditinggal tanpa penjaga ketika pendaki melakukan “Summit – Attack“

Setelah makan siang dan beristirahat, Tjandra Heru, Lily Nababan dan Chaca memilih tinggal di Chhukhung Village dan langsung kembali ke Dingboche. Pukul 12.30 kami berempat: Milug, Ian, BHP didampingi Sujan mulai mendaki gunung batu terjal itu Chhukhung RI (5559 M).

Tanjakannya benar-benar maut dan edan. Kaki terasa pegal dan mulai kejang, sedangkan nafas terus tersengal-sengal menuntut supply oksigen lebih. Perjalanan dua setengah jam itu benar-benar menguras tenaga saya, dan membuat saya capai. Radang tenggorokan saya bertambah parah dan sakit dileher tidak hilang sedangkan sakit diare saya sudah sembuh, tapi masih lemas, yang akhirnya terobati lunas setelah melihat pemandangan sangat spektakuler di atas gunung berbatu cadas hitam itu. Banyak foto diambil disini, termasuk foto kami dengan bendera kebanggaan Mahitala Unpar dan Merah Putih. Perjalanan Turun ke Chhukhung Village dilakukan amat cepat, hanya 30 menit.

Gambar 42
Trio : Milug, Ian dan BHP di puncak Chhukhung (5350 M), Kamis 02 Nopember 2006

Pemandangan disini sungguh “fantastis“.

Trio Mahitala berpose bersama bendera kebangsaan Mahitala Unpar dengan latar belakang Lhotse (8501 M)


Gambar 43
Sang Merah Putih didepan Lhotse-Nuptse Ridge dan Lhotse (8501 M),
Kamis 02 Nopember 2006
Di ketinggian ini dapat dilihat dengan jelas 4 (empat) puncak dunia dengan ketinggian diatas 8200 M, yaitu Mt. Everest (8848 M – 1), Lhotse (8501 M – 4),
Makalu (8463 M – 5) dan Cho-Oyu (8201 M – 6)
Luar biasa ... ...

Pukul 15.30 kami berempat sudah sampai di Chhukhung Village, ternyata Tjandra Heru, Lily Nababan dan Chaca sudah kembali ke Dingboche, maka kami segera kembali ke Dingboche karena tidak ingin kemalaman dijalan. Perjalanan benar-benar dilakukan secara cepat menuruni lembah, menyusuri Imja Khola untuk menuju Dingboche. Udara dingin tidak dirasakan lagi, badan bergerak cepat sehingga sampai di Dingboche pukul 17.30, tepat sebelum keremangan senja menyelimuti Dingboche.

Malam itu udara begitu dingin di Dingboche, sehingga saya malas ke kamar, hanya duduk di dekat perapian yang hangat di restoran sambil mengeringkan sepatu, kaos kaki dan sarung tangan dan pikiran menerawang jauh. Sudah 2 buah kaos kaki saya hangus terbakar selama ini karena melamun di perapian, sedangkan kaos kaki kami dikeringkan di besi panas. Masih tergiang kata-kata Didiet kepada George yang setengah sadar di Pheriche, yang juga diulang di Kathmandu nantinya setelah bertemu George, setelah misi EBC selesai :

“George, eloe itu punya tugas yang lebih mulia dari kami. Secara sadar atau tidak eloe telah menyelamatkan nyawa Porter yang “sekarat” karena ditinggal oleh tim nya setelah jatuh ke jurang 30 meter. Sedangkan kami cuma naik beberapa gunung di Himalaya. Jadi eloe tidak boleh sedih …… “

Dalam benar makna kata-kata itu, begitu menggugah sanubari … … People always thinks as themselves and never understanding about the God’s plan and His purposes … ….

Namaste,

Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS