23 June 2007

Cerita Buset (Budi Satria) dari Angkatan Tara Lokapala yang sangat menegangkan. Di mana perjalanan sepedahan berakhir dengan sebuah misi SAR dalam skala kecil yang sangat menegangkan. Salut untuk Buset dan rekan-rekan yang sangat cekatan dalam rescue party ini.

BSTRGDS,

Audy Tanhati
M 2000511 ATSA

RESCUE PARTY

Tanggal 17-18 Maret 2007 gw dan teman2 camping dan MTB di Gunung Mahawu Tomohon Sulut. Peserta ada 9 orang termasuk 4 orang yang bersepeda gunung. Menuju puncak tidak ada kendala yang berarti kecuali makan malam yang terlambat.

foto CAMPING

Bangun pagi gw bertiga (gw, Andi & Rully) minus titus yang malas bangun, genjot keliling kawah gunung yang sangat indah.

foto MTB MAHAWU 1

foto MTB MAHAWU 2

foto MTB MAHAWU 3

Ini jadi pemanasan karena kami berencana untuk turun menuju Manado melalui rute yang berbeda dibandingkan saat naik.

Memasak & makan pagi merupakan keasyikan tersendiri jika berkemah.

foto BREAKFAST

Di saat menikmati makan pagi yg akan menjadi energi kami untuk bersepeda, Sugi datang dengan nafas terangah engah. Dia bilang Ari (rombongan kami) terjebak di dinding kawah, tidak bisa naik dan tidak bisa turun.

Rupanya Ari tanpa sepengetahuan kami turun ke kawah seorang diri. Langsung saja kami melihat status Ari. Posisi Ari sangat mengkawatirkan karena berada cukup tinggi dengan batuan yang mudah lepas. Lengah sedikit maut akan menjemputnya.

foto Lokasi Korban yg dilingkari merah

Untuk naik tidak mungkin karena tebingnya tegak lurus. Sedangkan untuk turun sangat sulit karena medan yang terjal dan climb down lebih sulit dari pada climb up. Yang lebih mengkawatirkan Ari sudah kehabisan tenaga sehingga ia tidak dapat berbuat apa - apa.

Kondisi SAR dalam benak gw.

Kami tidak dapat menolong Ari saat itu karena tidak memiliki peralatan rescue. Untuk menolong Ari membutuhkan bantuan dari pihak luar. Di puncak gunung ada petugas dari Dinas Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang sedang merawat peralatan pematauan gunung api. Pak Farid & Pak Suwarno petugas tersebut yang berlogat Sunda (cukup aneh mendengar logat sunda di SULUT) memegang HT untuk berkomunikasi dengan pos pemantauan Gunung Lokon & Mahawu. ternyata di pos tersebut ada peralatan rescue berupa tali dan webbing yg dapat kami pinjam.

Kami langsung berbagi tugas. Droping air minum, biskuit, helm, sepatu (sandal Ari hilang) & sarung tangan dilakukan oleh Sugi dan Tikno.

Titus menghubugi BASARNAS.

Andri mengurus logistik.

Domi & Andi memantau Ari dan merapihkan camp.

Gw dan Rully turun gunung untuk mengambil tali & webbing. Gw turun gunung naik sepeda dan ngebut. Dengan bonus nyungsruk berkali kali. Maklum fisik terkuras habis. Untung saja saat naik kembali ke puncak, Rully yang tenaganya super becak dapat menuntaskan tugas tersebut dengan baik. Gw ditinggal di belakang. Mau pingsan rasanya ketika gw sampai kembali di bibir kawah.

Rescue party segera dimulai. Komando di tangan Pak Farid yang mengenal semua sudut gunung itu dan jam terbang tinggi di gunung berapi. Teknik penyelamatan dengan menarik Ari ke atas namun harus membandul ke arah kanannya sekitar 15 meter. Hal tersebut dilakukan karena cukup sulit mencari anchor (jangkar/tambatan) tali dan di punggung tersebut. Anchor yang ada berupa pohon kecil, namun berakar kuat. Tidak ada pilihan lain, pohon ini juru selamatnya.

Pak Farid tidak mengenal rasa takut, ia berjalan di pucuk tebing yang batunya rapuh. Rekannya Pak Warno berkali kali mengingatkan untuk berhati hati. Di ujung punggungan yg dapat melihat Ari, Pak Farid memandu Ari untuk membuat tali tubuh dan mengikat tali. 12 orang (ada tambahan personil bantuan) menahan tali yg telah terikat ke Ari dan ia mulai membandul. Ngeri melihat ketika Ari membandul karena diikuti batu jatuh akibat gesekan tali. Ketika tinggal menarik ke atas Pak Farid ragu mengambil tindakan karena persis di gesekan tali tersebut terdapat batu besar yang dapat runtuh jika diganggu.

Di saat itu tim SAR kota Tomohon datang tanpa membawa perlengkapan apapun. Kesal juga rasanya, tapi mungkin mereka bisa membantu. Kedatangannya hanya untuk memastikan bahwa ada korban kecelakaan di gunung dan akan dikonfirmasikan dengan SAR Manado.

Melihat tim SAR, Pak Farid menyerahkan komando ke tim SAR, namun gw meragukan kemampuan tim tersebut. Tim SAR memutuskan untuk menunggu bantuan SAR dari Manado yg memiliki peralatan lengkap.

Gw gak sabar dan memaksa untuk segera menarik Ari karena waktu sudah jam 4 sore dan kalau malam datang upaya rescue akan bertambah rumit. Selain itu kabut dan hujan mulai turun yg membuat kami menggigil.

foto RESCUE KORBAN 1

Akhirnya dengan perlahan kami berhasil menarik Ari sampai ke ujung tebing.

foto RESCUE KORBAN2

Ari shock dan kakinya lebam akibat membandul. Rescue selesai dalam waktu 7,5 jam. Kami bersyukur Ari dapat selamat dan segera pulang karena malam telah tiba. Seperti dalam film - film polisi atau penyelamat datang terlambat ketika pesta rescue usai. Karena saat kami turun berpapasan dengan tim SAR dari Manado dengan semua perlengkapannya.

Demikian cerita gw. Semoga masih ada cerita seru lagi untuk dibagi.

thanks

-buset-

NB: Teman2 kalau ada yang ke Manado / Gorontalo kontak gw yah. kita naik gunung di sini walau gak tinggi tapi menyenangkan.

22 June 2007

HELL WEEK by Kang Zaska - Pekik

Satu lagi, karya murni Anggota Mahitala dan kebetulan beliau banyak konsen di dunia Pendidikan dan Pelatihan Dasar Mahitala Unpar. Cerita bersambung ini terdiri dari 7 bab. Sengaja saya sambung menjadi satu (tetap terbagi menjadi 7 bab). Dan semoga semua dapat menikmatinya. Kita sambut sekali lagi "HELL WEEK" karya kang Zaska dari Angkatan PEKIK.....

BSTRGDS,

Audy Tanhati
M 2000511 ATSA

HELL WEEK

HELL WEEK (1)

Jam 07:00. Puncak-puncak punggungan yang mengelilingi Situ Lembang sudah mulai tampak. Tapi kabut cukup tebal masih menyelimuti dasar lembah. Seolah enggan membiarkan sinar mentari pagi menyentuh semak dan rerumputan yang dibasahi hujan semalam. Baju yang sudah dilapisi wind breaker masih juga bisa ditembus udara dingin. Saya agak menggigil. Namun dua orang rekan muda saya tampak biasa-biasa saja. Yang laki-laki namanya Wisa, yang perempuan Monik. Saya tidak menanyakan apa nama angkatan mereka. Bukan apa-apa. Karena yang pasti angkatan mereka sudah terpaut sangat jauh dengan angkatan saya.

Tak jauh dari tempat kami berdiri, seorang siswa dengan baju lembab kelihatan sudah sedang membereskan area di sekitar shelternya. Alat makan dibilas sedikit air dari tempat minumnya. Lalu dibersihkan dengan patahan daun pakis. Sisa air di misting di tuangkan ke perapian. Bekas perapian dicek lagi. Beres, bara sudah tidak ada. Ranting-ranting bekas terbakar dirapikan. Lubang di tanah berabu ditutup lagi dengan gundukan tanah di sekelilingnya. Di dalam shelternya yang terbuat dari poncho saya melihat ada selembar matras. Di atas matras masih berserakan beberapa barang. "Itu kantung plastik berisi baju kering" kata Monik. "Mereka harus menjaga agar satu stel pakaian tetap kering untuk tidur". "Itu kantung makanan ya?" tanya saya sambil menunjuk ke sebuah kantung plastik yang di dalamnya terlihat beberapa bungkusan kecil. "Ya, betul" jelasnya. "Isinya muesli a la Mahitala. Campuran havermut, gula merah bubuk, susu bubuk dan kismis. Ini salah satu jenis makanan selama sesi survival. Memberikan pengalaman pada siswa untuk merasakan hidup dari survival food yang sudah disiapkan sebelumnya. Warisan menu dari kak Sani waktu ekspedisi Maoke dulu". "Oh, sekarang yang seperti itu gampang dicari di supermarket. Tapi, apa cocok dan bisa bikin kenyang untuk standar perut kita?", kata saya "Memang sengaja dikondisikan seperti itu. Namanya juga kondisi survival. `Kan prinsip dasar survival adalah adaptasi. Nah, ini salah satu bentuk adaptasi tersebut. Adaptasi terhadap makanan yang tidak biasa dikonsumsi. Karena itu juga lah kami menyebut sesi survival ini sebagai Hell Week", jelasnya Wisa dengan mantap. Seperti Monik, dia juga tampak menguasai betul apa yang dibicarakannya. "Hell week, apa itu? Kok seperti program seleksi US Navy SEAL" "Memang iya, kami pakai istilah mereka. Intai Para Amfibi Marinir kita juga pake istilah itu untuk salah satu tahapan seleksinya", katanya dan kemudian menjelaskan tentang Hell Week ala Mahitala. Hell Week adalah istilah untuk salah satu tahapan kegiatan dalam DikSar Mahitala. Satu pendekatan baru yang bertujuan untuk menanamkan safety mindset & skills kepada para siswa. Satu rangkaian kegiatan yang dikemas dalam suatu skenario bertema Solo Survival selama 4 hari 3 malam.

Dalam tahapan kegiatan pra Hell Week, safety mindset & skills ditekankan pada hal-hal yang harus dilakukan agar perjalanan di alam terbuka berlangsung dalam tingkat resiko yang minimal. Sedangkan dalam Hell Week, fokusnya pada apa yang harus dilakukan jika kita mengalami situasi darurat di perjalanan: misalnya tersesat seorang diri, apa yang harus dilakukan untuk bisa kembali ke tempat yang aman. "Apa bedanya dengan survival di DikSar sebelumnya?" , tanya saya.


HELL WEEK (2)

"Pada kegiatan DikSar sebelumnya, konsep dan kegiatan survival difokuskan pada group survival. Selama 3 hari 2 malam, dalam regu kecil, tanpa dibekali makanan, siswadi lepas untuk bergerak dari 1 titik ke titik lain. Selama 72 jam kegiatan mereka di siang hari diisi dengan ber-navigasi dan mencari makanan sendiri. Di malam hari tidak ada kegiatan.

Sekarang konsep dan kegiatan survival difokuskan pada solo survival. Prinsipnya, secara perorangan, selama 4 hari 3 malam siswa jugaakan bergerak dari 1 titik ke titik lain", jelas Wisa.

Pada siang hari kegiatannya dilakukan bersama-sama tapi sifatnya tetap perorangan. Contoh, compass walking, di sini setiap siswa akan berjalan sendiri-sendiri. Dari titik awal, membentuk segitiga sama sisi. Lalu kembali ke titik awal. Demikian juga, misalnya dengan river crossing. Siswa akan belajar menyeberangi sungai. Sendirian. Menggunakan teknik individu dengan alat yang dimiliknya, misal dengan bantuan tongkat atau renang poncho. Bukan dengan cara tyrolean atau menggunakan tali yang sudah melintang di sungai. Ketika menyeberang, siswa tetap menggunakan tali pengaman.
Pada malam hari siswa akan membuat shelter-nya sendiri-sendiri, tersebar dalam jarak yang agak berjauhan. Fokus kegiatan malam hari adalah BERDIAM DIRI di satu tempat SENDIRIAN. Karena setiap harimereka akan berpindah-pindah, mereka akan berlatih membuat shelter ditempat-tempat dengan kondisi yang berbeda. Dan pada sore dan malam hari, setelah mereka berada di shelter, ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan. Salah satunya adalah merefleksikan tentang apa yang mereka lakukan
untukmengatasi ketakutan, kesendirian atau kebosanan ketika mereka sendirian dihutan. Lalu dituliskan. Besoknya di-share bersama dengan hasil refleksi siswa-siswa lain. Tujuannya belajar tentang attitude yang diperlukan dalam situasi survival secara experiential.

"Lalu, kok semua fokusnya pada kegiatan individu? Apa alasannya?", tanya saya penasaran.

"Idenya bermula dari kejadian di Argopuro bulan Januari tahun 2006. Seorang rekan kita, yang pencinta alam, sendirian mendaki gunung. Di satu tempat dia membuat shelter. Dia kemudian pergi membawa beberapa perlengkapan. Ransel besar dan beberapa baranglain ia tinggalkan di shelter. Dia tidak berhasil kembali ke shelter-nya. Dia tersesat dan hilang di gunung. Dari kejadian tersebut dan komentar teman-teman di milis,saya dan beberapa teman mencoba menganalisis apa yang terjadi", kata Wisa"Lalu, mendiskusikan apa yang dapat dilakukan untuk memperkecil resiko hilang di gunung".

Timbul gagasan untuk memulai sesuatu yang baru. Terutama setelah sentilan kak Mul bahwa yang muda-muda cuma bisa bilang"dulu juga gitu". Dari diskusi muncul ide untuk memulainya pada DikSar. Kita coba menggunakan pendekatan baru dalam sesi survival. Yaitu, bagaimana siswa belajar untuk bertahan hidup dalam suatu situasi darurat. Terutama jika diaharus MENJALANINYA SEORANG DIRI seperti yang dialami rekan kita di Argopuro.

Ide terus berkembang. Ada yang usul untuk diberi nama Hell Week. Hell disini maksudnya adalah sebuah rekayasa situasi survival. Khususnya pada malam hari. Di mana siswa akan BERDIAM DIRI melewatkan 3 malam SENDIRIAN dengan PERALATAN TERBATAS.

Jadi selama 4 hari 3 malam para siswa akan diberi pengalaman untuk mengatasi bagaimana cara beradaptasi dengan kesendirian, dingin, basah, ketidaknyamanan, keterbatasan. So, they will go to hell, and come back alive. Seperti judul novel ja-dul tentang tentara Amerika di PD 2 yang kemudian dibuat film.

Kami lakukan brainstorming tentang ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seorang solo survivor. Salah satunya adalah usulan kak Sur tentang ketrampilan berkomunikasi dengan bakal penolongnya. Ada juga ketrampilan membuat shelter dan bermalam sendirian. Karena menyebutkan betapa BERATnya melewati malam seorang diri dalam situasi survival. Lalu terilhami oleh buku Bat 21. Di mana seorang navigator pesawat pengintai USAF bisa selamat di perang Vietnam. Karena ketrampilan bernavigasi dengan kompas kecil yang sederhana. Kami memasukkan navigasi dengan kompas sederhana salah satu ketrampilan yang diajarkan. Kali ini kami gunakan kompas Silva yang Cuma menunjukkan arah NESW saja.

"Jadi siswa cuma diajarkan memakai kompas Silva model ini?", tanya saya.


HELL WEEK (3)
INDIVIDUAL SURVIVAL KIT

"Oh, tidak", jawab Monik. "Di sesi navigasi, mereka diajarkan menggunakan berbagai macam jenis kompas: prisma, Silva bidik, Silva orienteering. Bahkan penggunaan GPS, seperti yang pernah diusulkan kak Budi HaHa di milis. Tapi di sesi survival, mereka dikondisikan dalam situasi di mana yang ada hanyalah kompas Silva yang selalu tergantung di leher mereka".

"Eh, jadi inget komentar kak Budi di milis. Kenapa kok Hell Week? Padahal cuma 4 hari", kata saya.

"Iya tuh, siswa juga ada yang tanya ke dansis. Week-nya kok cuma 4 hari. Si dansis jawab: untung cuma 4 hari, kalau 7 hari jontor kamu !

Lalu Monik menambahkan, "Khusus mengenai pengadaan kompas Silva, kami kerjasama dengan kak Victor dan kak Bondan dari Kawani. Dan beberapa sponsor serta donatur lain. Khususnya Jakarta charter. Sehingga para siswa bisa membeli kompas itu dengan harga khusus. Fungsi utamanya adalah backup compass kalau kita pergi ke alam terbuka. Sehingga kalau kita menemui situasi darurat, kompas sudah pasti ada. Menggantung di
leher di leher kita".

"Untuk pasukan khusus sekelas SAS saja, dalam operasi tempur, mereka membawa GPS, kompas prisma dan kompas Silva. GPS bisa habis baterenya atau satelitnya terganggu cuaca", Wisa menimpali. "Mereka selalu pakai back up. Pesan inilah yang antara lain kita coba sampaikan kepada siswa".

"Kakak ingat, kak Sur pernah usul tentang metoda SAR gaya tulang ular?", tanya Wisa pada saya.

"Ya, ingat. Pernah baca di milis", jawab saya.

"Nah, kita juga mencoba memasukkan unsur SAR dalam program Hell Week ini. Dengan penekanan agar survivor mengetahui pola dan cara pikir yang biasa digunakan tim SAR. Sehingga dia dapat "membantu" tim SAR menemukan dirinya", jelasnya. "Di samping juga cara-cara memberikan tanda pada tim penolong tentang keberadaannya" .

"Dan dalam salah satu tugas malam hari, siswa diminta membuat tulisan berisi usulan rencana untuk mengkampanyekan metoda Tulang Ular menjadi metoda SAR standar di kalangan pecinta alam. Kalau bisa, kan akan mempermudah koordinasi antar pecinta alam di lapangan".

Kabut mulai menipis. Sinar mentari mulai membagi kehangatannya. Si siswa tampak sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Area tempatnya bermalam tampak sudah kembali alami. Hampir tidak ada tanda-tanda seseorang pernah menginap di sana. Dia bersiap-siap untuk meninggalkan tempat dan bergabung dengan rekan-rekannya yang lain.

"Eh, tentang makanan survival, gimana? Kan tadi kita lihat dia makan muesli?", tanya saya.

"Dalam sesi sebelum masuk ke Hell Week, para siswa diajarkan membuat atau menyusun perlengkapan minimal untuk bertahan hidup. Kami menyebutnya: Individual Survival Kit. Di dalamnya ada ponco, baju cadangan dalam plastik, first aid, matras dan juga makanan. Survival kit ini disarankan untuk SELALU dibawa pada saat melakukan perjalanan di alam terbuka kelak. Nah, dalam Hell Week peserta akan mempraktekan
penggunaan Individual Survival Kit tersebut. Tapi selain itu, peserta juga tetap diperkenalkan dengan tumbuhan yang aman untuk di makan", Wisa menimpali.

Pantes, ransel siswa kelihatan kempes, kata saya dalam hati.

"Biar isi ranselnya sedikit, tapi kegiatan yang dilakukan banyak lho", kata Monik seolah bisa membaca pikiran saya

Kegiatannya apa aja sih?


HELL WEEK (4)
ATTITUDE

Dengan ransel di punggung siswa berjalan di antara semak dan pepohonan. Kita mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian kami tiba di sebuah tempat terbuka. Tempatnya datar. Berumput pendek kira-kira sebesar lapangan basket. Di salah satu sisinya ada beberapa batu besar.

Di antara bebatuan itu terlihat 3 orang senior. Mereka kelihatannya sedang asyik membicarakan sesuatu. Kira-kira 5 meter di depannya, belasan siswa-siswi duduk di rumput beralaskan matras mereka. Membentuk setengah lingkaran menghadap ke arah para senior.

"Hai", sapa mereka kepada siswa yang baru datang.

"Hai", si siswa membalas sapaan rekannya. Dia pun segera bergabung dengan teman-temannya. Dari tiga arah yang berlainan kelihatan 6 siswa-siswi menuju ke arah kerumunan rekan-rekannya.

Canda siswa-siswi membuat suasana pagi menjadi lebih hangat. Apalagi ditimpali kicauan burung yang berkejaran di dahan-dahan. Pepohonan yang mengelilingi lapangan rumput seolah menyaring sinar mentari pagi. Membentuk garis-garis lurus putih yang kontras dengan latar belakangnya yang kehijauan.

07:30 semua siswa-siswi sudah berkumpul. Jumlahnya 18 orang. 12 siswa dan 6 siswi.

"Selamat pagi !", kata salah seorang senior yang berdiri di depan mereka. Suaranya tegas dan lantang.

"Selamat pagi !", jawab para siswa-siswi serempak dan penuh semangat.

Si senior berbadan langsing. Mengenakan celana lapangan cokelat tua dan kemeja cokelat muda. Pada kopel rim di pinggangnya tergantung tempat minum militer. Dia memakai topi pet. Seperti siapa ya? Seperti kak Didiet, kah?

"Siapa dia?", tanya saya pada Wisa.

"Kami memanggilnya Bowie", jawab Wisa. "Dia akan menjadi penanggung jawab untuk sesi hari ini".

"Dia akan membawakan sesi apa?"

"DIAM DI TEMPAT"

"Ah, apalagi tuh?"

"Kita lihat saja lah".

Saya jadi tertarik untuk mengamati aktivitas pagi ini.

"Masih ingat sesi First Aid?", tanya Bowie kepada para siswa-siswi. Apa yang harus dilakukan untuk menolong seseorang mimisan atau keluar darah dari hidung?" Dan siswa siswi pun bergantian memberi jawaban.

"Korban diminta duduk tegak".

"Kepala tegak, jepit kedua lubang hidung".

"Tekan selama lebih kurang 2 menit dan minta korban bernafas lewat mulut".

"Mengapa posisi kepala harus tegak?", tanya Bowie lagi.

"Supaya darah tidak mengalir ke tenggorokan. Karena kalau tertelan bisa mengakibatkan mual, lalu muntah", kata mereka.

"Baik, sekarang kita akan praktekkan. Pertama kalian buat kelompok berdua-berdua. Salah seorang jadi korban, rekannya jadi First Aider", kata Bowie. "First Aider akan menjepit hidung korban selama 2 menit. Setelah 2 menit, saya akan beri tanda, lalu berganti peran. Ada pertanyaan?"

Setelah siswa-siswi menunjukkan respon bahwa mereka mengerti, Bowie melanjutkan: "Ayo, sekarang cari pasangan masing-masing"

Para siswa-siswi bergerak membentuk kelompok dua orang. Setelah semuanya berpasangan, Bowie lalu memberi tanda pada First Aider untuk mulai menjepit hidung korbannya.

"Ya, waktu dua menit selesai. Sekarang gantian", kata Bowie. Dan siswa-siswi pun bergantian menjepit hidung rekannya selama 2 menit.

Setelah semua mendapat giliran menjalani peran sebagai First Aider dan korban, Bowie bertanya:"Ketika kalian jadi korban, dan harus bernafas lewat mulut selama 2 menit, apa yang dirasakan?"

"Nggak nyaman". "Susah menelan ludah". "Pusing"

"Lalu apa yang dilakukan para First Aider untuk membuat si korban merasa nyaman selama mereka menjepit hidung korban?", tanya Bowie lagi.

Kali ini siswa-siswi terdiam. Beberapa saat kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkomentar bahwa rekannya mencoba menghibur:"Rileks saja, memang ngga enak, tapi coba tahan, ya". Lalu dua-tiga orang lainnya memberikan komentar serupa.

"Nah, itulah ATTITUDE seorang First Aider yang baik. Anda punya SKILLS yang baik: teknik menjepit lubang hidung korban. Anda pun punya KNOWLEDGE yang baik: darah jangan sampai masuk ke tenggorokan, bisa membuat korban merasa mual. Tapi punya skills dan knowledge yang baik saja tidak cukup. Kita juga harus punya attitude yang tepat", Bowie menjelaskan. "Bukankah salah satu tujuan Pertolongan Pertama adalah memberikan rasa nyaman pada penderita?".

Sampai di sini saya masih belum dapat menebak kemana kira-kira arah pembicaraan Bowie. Tapi tampaknya dia tahu apa yang dilakukannya.


HELL WEEK (5)
COMMON SENSE

"Sekarang, coba ingat-ingat ketika kalian menjadi korban, siapa saja yang rekannya menghibur kalian", tanya Bowie.

Beberapa tangan terangkat ke atas. Cuma ada 4 orang.

"Beruntung kalian yang rekannya mencoba menghibur. Nah, buat yang lainnya, apa yang kalian lakukan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan?", tanya Bowie lagi.

Siswa-siswi beruntun memberikan respon.

"Dibikin enak aja. Ini kan cuma latihan".

"Jangan dirasain ngga enaknya. Untung masih bisa napas lewat mulut"

"Jangan pikirin kapan selesainya. Rileks. Anggap aja lagi latihan diving"

"Diam dan tenang. Pikirin sesuatu yang bisa bikin nyaman"

"Yes !", kata Bowie. "Yang ini namanya ATTITUDE korban yang baik. Dalam situasi yang tidak nyaman, tetap berusaha untuk bersikap positif. Dan karena tidak ada orang lain yang menghibur, kita terpaksa menghibur diri-sendiri. Upaya kalian untuk beradaptasi dengan situasi adalah dengan melakukan SELF TALK yang positif. Ngomong sama diri-sendiri mengenai hal-hal yang positif". Lalu Bowie mengaitkan dengan sikap dan self talk positif yang perlu dimiliki oleh seorang survivor. Khususnya survivor yang harus mempertahankan hidupnya seorang diri.

Kondisi yang dialami seorang solo survivor mirip dengan si korban dalam latihan First Aid. Sama-sama mengalami hal yang tidak nyaman. Bedanya dalam keadaan survival, survivor harus mengatasi sendiri ketidaknyamanan itu. Dalam ketidakpastian. Dalam tingkat kegawatan yang lebih berat. Mungkin dalam situasi yang lebih mencekam. Dalam jangka waktu yang lebih lama. Tapi untuk bisa mengatasi semua hal tersebut, prinsipnya tetap sama: ATTITUDE & SELF TALK YANG POSITIF.

Dalam situasi survival, attitude dan self talk positif inilah yang bisa membentuk atau memperkuat kemauan untuk hidup atau THE WILL TO SURVIVE. Sehingga seseorang dapat bertahan untuk tetap hidup.

"Sekarang, keluarkan Field Manual kalian," kata Bowie. Dan para siswa-siswi segera merogoh sesuatu dari dalam ransel mereka.

Mendengar sebutan "Field Manual" langsung terlintas dalam benak saya sebuah diktat. Fotokopi-an dengan kertas ukuran Folio. Tebalnya kira-kira 3 cm-an. Isinya tentang topik yang dibahas dalam DikSar. Tapi yang saya lihat kemudian sungguh di luar dugaan.

Para siswa-siswi mengeluarkan secarik kain. Terlipat rapi berbentuk segi empat. Warna dasarnya kuning Mahitala. Dengan motif berupa tulisan dan gambar dengan warna hitam.

"Itu apa?", tanya saya pada Monik.

Dia menunjukkan kain serupa pada saya. Ukurannya lebih besar dari bandana yang saya kenakan di leher. "Ini Field Manual yang digunakan oleh siswa-siswi" .

"Wah, boleh juga idenya" kata saya kagum. Di kain tersebut di-sablon diagram, gambar dan tulisan yang berkaitan dengan LEARNING POINTS yang dibahas selama sesi survival. Gambar dan tulisannya dibuat seperti kartun. Tapi sistematikanya jelas. Lay out-nya juga bagus, karena kalau dilipat dan digunakan sebagai ikat leher, motifnya jadi enak dilihat.

"Iya, selain praktis dan multi fungsi, siswa-siswi juga gampang kalau mau mengingat-ingat lagi inti pelajaran yang sudah dibahas" kata Monik.

"Sekarang kita lihat gambar di sudut kiri" kata Bowie kepada siswa-siswi. "Gambar piramid dengan 4 lapisan. Di ambil dari bukunya John Wiseman. The SAS Survival handbook".

Kata-kata yang ada di lapisan dasar piramid adalah ATTITUDE: THE WILL TO LIVE. Menurut John Wiseman, dengan modal attitude yang tepat orang dapat bertahan hidup dalam situasi survival. Meski dia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan buku aturan survival sekalipun. Jadi inilah fondasi yang perlu ada agar kita bisa survive.

Dan kita dapat lebih percaya diri dan lebih mudah membuat keputusan, dalam situasi survival, kalau kita punya KNOWLEDGE. Seperti terlihat di lapisan kedua.

Kemungkinan survive akan lebih besar lagi kalau kita juga punya SKILLS untuk bertahan hidup. Nah, idealnya skills ini terus menerus di asah. Supaya kita betul-betul trampil menggunakannya. Skills menjadi lapisan ketiga.

Di puncak piramid ada tulisan KIT atau EQUIPMENT. Kita akan sangat beruntung kalau kita juga dilengkapi oleh peralatan yang cukup. Ketika harus bertahan hidup di situasi darurat.

"Tentang attitude, selain menjadi fondasi, apa yang membedakannya dengan lapisan-lapisan yang lain" tanya Bowie. "Ayo, diskusikan dengan teman di sebelahnya. 3 Menit. Mulai!"

"Wah, sekarang instrukturnya pakai pendekatan fasilitasi ya?" tanya saya.

"Iya, tapi tetap tegas lho" kata Wisa. "Semua yang diajarkan pada dasarnya adalah COMMON SENSE. Jadi kami juga tidak ingin mereka hanya dicekoki dengan instruksi satu arah."

Itulah salah satu hal yang membedakan pendidikan Special Forces dengan infanteri biasa. Special Forces harus bisa menganalisa masalah dan mengambil keputusan sendiri. Karena mereka kadang berada jauh di belakang garis pertahanan musuh. Dalam jumlah kecil. Dan tidak bisa segera mendapatkan bantuan. Demikian Wisa menambahkan.

"Waktu habis!" kata Bowie "Siapa yang akan mulai bicara?"

Bergantian siswa-siswi mengemukakan pendapatnya. Bowie mendengarkan baik-baik setiap respon. Dan kadang mengajukan pertanyaan untuk memperjelas pendapat yang disampaikan. Hampir semua pendapat bermuara ke arah yang sama: Pengetahuan, dan apalagi ketrampilan survival, kemungkinan besar tidak akan digunakan dalam perjalanan kita. Malahan kalau bisa, diupayakan agar jangan sampai digunakan. Tapi kalau attitude survival, bisa diterapkan di mana saja. Dalam kehidupan kita sehari-hari.

"Karena itulah, hari ini kegiatan kita akan lebih banyak berfokus pada attitude" kata Bowie.


HELL WEEK (6)
STAY PUT

"Coba kalian perhatikan tulisan yang dekat alas piramid. Apakah kalian setuju dengan pernyataan itu?" Sambung Bowie.

Di Field Manual kain itu terbaca "You are responsible for all of your experiences of life." Dan siswa-siswi pun kemudian terlihat asyik berdiskusi.

Beberapa saat kemudian komentar pun mulai bersahutan.

"Ngga setuju, ah. Masa orang yang bikin ulah, kita harus ikut tanggung jawab."

"Berat amat. Kalo kita musti tanggung semuanya"

"Lagipula banyak kejadian yang menimpa kita, yang penyebabnya ada di luar kontrol kita"

"Eit, tenang. Memang sih ini pake bahasa Inggris. Dan kalimatnya memang rada-rada menjebak." Jawab Bowie. "Kata penulisnya, Charles Swindoll, dalam kalimat tersebut tertulis OF LIFE dan bukan IN LIFE."

"Maksudnya?"

Kita memang tidak usah bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi pada kita. Tapi kita harus BERTANGGUNG JAWAB ATAS REAKSI KITA terhadap apa yang terjadi pada kita. Formulanya adalah "Life acts. You react". Reaksi kita ada di bawah kendali kita. Demikian Bowie menjelaskan. Kemudian dia mengambil buku catatan kecil dari kantung celana lapangannya. Lalu membacakan kutipan dari tulisan Charles Swindoll.

Your reaction is under your control. In any life situation you are always responsible for at least one thing. You are always responsible for the attitude towards the situation in which you find yourself. Your attitude is your reaction to what life hands you. You can have either a more positive or a more negative attitude. Your attitude is under your control and can be changed. With the right attitude you can be a resilient person.

Siswa-siswi terlihat manggut-manggut. "Resilient person apa sih kak?"

"Apa ya, …… eh … kira-kira artinya orang yang fleksibel. Kalo lihat di thesaurus arti lainnya bisa juga tough." Kata Bowie "Tapi kata kuncinya adalah bahwa attitude kita ada dibawah kendali kita. Dan inilah yang akan kita coba praktekan hari ini. Meski hanya dalam tingkatan yang amat dasar."

Lalu Bowie melanjutkan. "Kalau pada siang hari, di hari-hari kemarin, biasanya kita bergerak secara fisik. Hari ini pergerakan fisik akan sangat kita minimalkan. Tugas kita adalah diam di satu tempat. Hanya diam. Secara fisik kita akan diam. Tapi kita akan aktifkan semua panca indera kita. Dan selain berlatih mengendalikan reaksi terhadap apa yang dialami, kita juga akan gunakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri dan belajar dari alam.

Idenya diambil dari buku Belajar Mencintai Alam, karangan Phillipe Vaquette. Sebuah buku untuk menggugah penginderaan pada alam untuk anak-anak usia 5 sampai 12 tahun. "Saya akan bacakan kutipan dari buku itu."

"Pendidikan di Semak-semak" inilah yang selama ini kita inginkan untuk diangkat kembali nilainya, ......Sikap kita terhadap alamlah yang menentukan kualitas dari pendidikan ini. Alam tak mendatangi kita, karena kita bukan pusat dunia seperti yang ingin kita yakini saat kita keluar dari mobil. Kitalah yang semestinya berjalan menujunya, karena alam mengandung banyak hal maupun keajaiban yang dapat kita ungkapkan.

Siapkah kita menerimanya? Untuk menerimanya, kita harus membuka mata, telinga, dan lubang hidung lalu maju untuk menyentuh dan membelai.

.... Anak-anak yang datang dari dunia yang bising, sulit menyesuaikan diri. Biasanya di lingkungan mereka sehari-hari, untuk memperoleh tempat terbaik, mereka harus menjadi yang pertama, paling cepat, paling berisik, paling memiliki semangat juang.

Di lingkungan hidup yang masih alamiah ini, semuanya serba terbalik. Dan pendidikan yang mempunyai peranan adalah pendidikan yang merendahkan hati. Tempat yang diperuntukkan bagi yang tenang, yang tahu menunggu dan yang dapat mengecilkan diri.

….. Sikap yang benar adalah berada di sana, hadir, membuka diri, berjaga-jaga serta menjadi bagian dari kehidupan yang terus bergerak. Di sini kita membuka pintu sebuah dimensi lain dari hubungan antara manusia dan alam.

"Jadi ada 2 hal yang akan kita lakukan hari ini. Berlatih mengendalikan diri dan sekaligus mendekatkan diri dengan alam." Demikian dikatakan Bowie sebagai rangkuman.

"Apa yang akan kalian lakukan jika kalian tersesat sendirian di hutan?" sambung Bowie. "Gunakan akal sehat untuk menjawabnya. Ingat-ingat pelajaran yang sudah kalian peroleh."

Dan siswa-siswipun seolah berlomba memberi jawaban.

"Berhenti, diam di tempat, tenangkan diri"

"Setelah tenang, pelajari lingkungan sekitar"

"Analisis situasi dan alternatif pilihan"

"Pertimbangkan medan, cuaca, dan sumber daya yang dimiliki"

"Pertimbangkan juga kemampuan kita"

"Setelah tenang, buat rencana untuk mengatasi keadaan"

"Bagus", kata Bowie. "Kedengarannya gampang, ya. Tapi seperti juga prinsip atau aturan sederhana lainnya. Hal itu ternyata tidak mudah dalam penerapannya. Terutama ketika kita harus mengatasi panik. Panik yang timbul saat kita mulai menyadari bahwa kita tersesat. Yaitu ketika kita tidak mengenali tempat di mana kita berada. Dan kita tidak tahu ke arah mana kita harus menuju"

Menurut beberapa referensi tentang survival, kepanikan ini timbul karena adanya rasa takut. Takut akan ketidak-nyamanan. Ketidak-pastian. Kesendirian. Takut akan apa yang akan dikatakan orang lain pada kita. Atau mungkin juga takut mempermalukan organisasi. Pecinta alam anu kok nyasar.

"Dalam latihan hari ini skenarionya adalah kalian tersesat sendirian. Dan kalian memutuskan untuk diam di tempat sampai pertolongan datang. Kami tidak bisa merekayasa situasi yang dapat membuat kalian takut. Tapi yang pasti kalian akan sendirian di satu tempat untuk jangka waktu yang belum ditentukan." Kata Bowie. "Tahu `kan tempat kalian latihan SAR dan memasang string line kemarin? Di sanalah kalian akan ditempatkan. "

"Di mana tuh?", tanya saya pada Monik

"Di punggungan sana", katanya sambil menunjuk ke arah Barat Laut. "Di sana kemarin mereka latihan SAR dengan metode Tulang Ular. Mereka dibagi menjadi 3 tim. Masing-masing tim memasang string line dari tali rafia di 3 punggungan yang berbeda. Pada setiap 300 meteran dibuat garis tegak lurus melintang jalur utama. Di setiap persimpangan itu dipasang rambu-rambu berupa potongan taplak plastik polos warna kuning. Ukurannya kira-kira 40 cm2 . Diberi nomor dan tanda arah. Mereka juga diminta untuk mem-plot jalur utama dan semua simpangannya pada peta. Hasil plotting lalu di cek oleh panitia. Nah, area yang sudah di-plot di peta inilah yang dipakai untuk kegiatan hari ini."

"Jadi kita tidak usah kuatir mereka nyasar, ya. Karena lokasi mereka sudah dikepung oleh tali pengaman yang ada rambunya. Panitia juga jadi lebih gampang kalau mau kontrol siswa-siswi. Wah, koordinasi antara sesi SAR dan sesi survival kalian memang jempolan," saya memuji.

"Terima kasih, kak. Ini kan hasil rembukan ide dan kerja bareng."

"Seperti dalam latihan SAR kemarin, kalian akan dibagi ke dalam 3 tim. Masing-masing tim akan diantar oleh senior ke lokasi yang berbeda. Di sana nanti kalian akan ditempatkan di satu tempat. Sendirian. Cari tempat yang nyaman. Lalu di sana kalian diam. Bergerak paling jauh hanya dalam radius 5 meter. Aktifkan semua indera. Amati kehidupan dan lingkungan sekitar. Pohon, burung, serangga, angin, hawa dingin. Juga reaksi kalian terhadap kesendirian dan kebosanan. Buat catatan tentang reaksi kalian. Dan apa yang kalian lakukan untuk membuat diri nyaman. Gunakan juga kesempatan ini untuk melakukan IBM."

"Apa itu IBM?"

"Individual Body Maintenance. Kalian bisa lepaskan sepatu dan angin-anginkan kaki kalian. Kalau ada sinar matahari jemur kaki kalian. Periksa bagian-bagian yang berpotensi lecet. Tempel plester di sana. Atau perawatan badan lainnya."

Kemudian Bowie mengingatkan siswa-siswi kembali dalam hal safety. "Dalam skenario ini kalian akan tetap tinggal di lokasi yang ditentukan hingga tim SAR menemukan dan menjemput kalian. Ingat, sekali lagi, jangan tinggalkan tempat sebelum dijemput tim SAR. Jangan tiup peluit, kecuali dalam keadaan darurat. Dan jangan berkomunikasi satu sama lain dengan cara apapun. Misal, teriak-teriak atau pukul-pukul piring. Jelas? Ada pertanyaan? Sekarang cepat bereskan barang kalian."

Siswa-siswi lalu mengemasi barang-barangnya. Lalu dengan ransel di punggung mereka berkumpul dengan timnya masing-masing.

"Siswa-siswi sudah siap semua?"

"Siaaap !" jawab mereka. Lantang dan serempak.

"Sebelum berangkat saya akan bacakan sebuah bacaan pendek. Dari Carlos Castaneda," kata Bowie.

The trick is what one emphasizes.

We either make ourselves miserable

Or we make ourselves strong. The amount of work is the same ….


HELL WEEK (7)
VIVAT MAHITALA

Selesai membaca, Bowie memberi isyarat ke arah kerumunan senior yang berdiri di sebelah kirinya. Enam orang senior lalu maju mendekati ketiga tim siswa-siswi. Mereka berpencar menuju ke tiap-tiap tim. Memberikan briefing singkat. Dan tak lama kemudian tim-tim kecil itu pun mulai bergerak meninggalkan lapangan rumput. Masing-masing didampingi oleh 2 orang senior. Bowie dan 2 senior lain menyapu dari belakang.

"Krosak, krosak, krosak". Suara khas sepatu siswa-siswi yang menginjak rerumputan terdengar semakin menjauh. Tak sampai 10 menit semua tim sudah hilang ditelan kerimbunan semak-semak. Tinggal suara canda mereka yang kadang-kadang terdengar. Itu pun lambat laun semakin sayup.

Sinar mentari yang semakin terik sekarang sudah menyinari hampir sebagian besar lapangan berumput. Di tempat yang teduh, di antara pepohonan masih ada beberapa senior berkumpul. "Ayo kita gabung sama mereka," kata Monik. Di sana ada Surjana, Ibrur, Odie dan Butawa.

"Nggak tugas?", tanya saya pada mereka.

"Nggak. Paling nanti sore jadi Patroli Pengintai." kata Surjana. "Mengintai siswa-siswi dari jauh. Diam-diam. Biasa, safety procedure."

"Sekarang apa acara kita?" tanya saya lagi

"Ya, kita santai dulu lah." kata Ibrur. "Ayo, kita balik ke Kemah Induk aja. Bisa ngopi-ngopi di sana."

Dan kami pun berjalan menuju Kemah Induk. Jalan santai.

"Jam berapa mereka akan dijemput?" tanya saya pada Odie.

"Jam 8" jawab Odie.

"Jam 8 nanti malam?" tanya saya lagi.

"Bukan, jam 8 besok pagi"

"Mereka tahu bahwa mereka baru akan di jemput besok?"

"Tidak."

"Eh, ngomong-ngomong, siapa sih yang merancang program DikSar ini?" tanya saya. "Konsepnya kelihatan rumit. Tapi koordinasinya kok bisa rapi, ya."

"Seperti kata saya tadi. Ini hasil rembukan ide dan kerja bareng." kata Monik.

"Banyak ide yang dilontarkan untuk DikSar. Baik konsep, materi maupun kegiatan. Pedoman untuk meramu ide-ide tersebut, dan memilihnya menjadi kegiatan DikSar adalah Safety dan Manfaat. Sehingga apapun kegiatannya, kegiatan tersebut harus AMAN dan memberikan MANFAAT optimal." kata Odie.

"Aspek manfaat inilah yang terus menerus kita coba kembangkan dalam setiap DikSar. Seperti dalam himne Mahitala. Kan ada kata-kata TEMPA JIWA RAGA. Tempa mencerminkan proses pembentukan. Proses menuju ke bentuk yang lebih baik." Butawa menambahkan.

"Apanya yang lebih baik?"

"Ya, kalau bisa semuanya. Jiwa dan Raga. Dalam dan Luar. Mindset dan Perilaku. Organizational atau management skills, yang sifatnya soft. Maupun outdoor skills, yang sifatnya hard. Pokoknya, diusahakan se-komplit mungkin lah." tukas Butawa dengan semangat.

"Saya tahu persis, si penggubah lagu belum berpikir sejauh itu tentang makna kata-kata `tempa jiwa raga', ketika dia bikin hymne Mahitala," kata saya.

"Kok tahu, memangnya kenal?" Butawa balik bertanya. "Siapa sih kak?"

"Ah, sudahlah tidak penting. Lagipula kalau disebutkan nanti dia .. uff, uff … hidungnya membesar. Saya masih penasaran bagaimana berbagai ide dari berbagai kepala kok bisa diracik menjadi ramuan yang apik."

"Sur aja yang cerita." Kata Monik, sambil menunjuk pada Surjana. Dia paling senior di antara rekan-rekannya.

"Kalau menurut saya, karena kebetulan pendekatan yang digunakan pas. Waktu itu, atas usulan kak Rene, digunakan sebuah pendekatan yang disebut Appreciative Inquiry atau AI." Jawab Surjana. "Kebetulan dia juga pakar untuk pendekatan AI. Dia `kan bekerja di salah satu perusahaan training terkemuka"

"Apa sih AI?"

"Kalau mau lebih jelas sih musti tanya sama kak Rene. Tapi menurut saya, seperti metoda-metoda lainnya, AI adalah sebuah metoda untuk menentukan tujuan. Lalu membuat rencana tindakan untuk mencapai tujuan tersebut." Kata Surjana. "Hanya uniknya, pada tahap awalnya yang disebut Discovery, metoda ini melibatkan suara semua orang di organisasi. Semua orang diajak untuk mengenali dan menggali potensi, kekuatan, hal-hal positif lainnya, yang pernah dan masih ada di organisasi."

"Nah, waktu di Mahitala, gimana prosesnya?"

"Begini, setelah beberapa kali pertemuan informal, digagaslah sebuah pertemuan yang lebih serius. Yang mengundang berbagai kalangan. Mulai dari yang D'kolots sampai ke anggota muda. Ada grup Jakarta dan grup Bandung. Ada penganut gaya-gaya militer. Seperti fans-nya US Marine, Ranger, SAS, Navy Seals, Green Berret. Dan ada juga kalangan intelektual dengan gaya yang lebih egaliter. Mereka ini orang-orang yang lebih suka berorganisasi. Selain yang masih kuliah, beberapa dari mereka ada yang sudah bekerja. Bahkan ada yang sudah jadi direktur atau bahkan owner sebuah perusahaan besar."

"Lalu?"

"Dalam kelompok-kelompok 6 – 10 orang. Yang isinya beragam macam orang-orang tadi. Setiap orang diminta menceritakan pengalamannya di Mahitala. Pengalaman nyata yang merupakan HIGH POINT. Pengalaman yang paling berkesan. Yang paling membanggakan. Ketika mereka aktif terlibat dalam salah satu kegiatan di Mahitala. Kegiatannya bisa apa saja. Kegiatan outdoor, kepanitiaan atau apa saja. Kemudian ketika bercerita, setiap orang diminta menceritakan pula tentang:

· Apa yang membuatnya termotivasi untuk beraktifitas waktu itu.
· Apa yang dilakukan rekan-rekanya pada waktu itu, baik rekan sebaya, lebih senior maupun lebih junior.
· Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut. Apa manfaat yang didapatkan.

Dan Surjana pun bercerita tentang proses yang terjadi selanjutnya. Antara lain, bahwa selain kak Rene, dalam pertemuan itu ada juga beberapa senior lain yang menjadi fasilitator. Ada kak Didiet, kak Sur, kak Ruslan, kak Mul, kak Bowo, kak Budi HaHa, dan masih banyak lagi.

"Eh, nanti dulu. Setelah masing-masing pada cerita, lalu bagaimana?" tanya saya.

"Oh iya, ketika salah seorang bercerita, ada satu orang yang menuliskan kata-kata kunci yang ada dalam cerita itu. Tahu nggak, ternyata kata-kata kunci dari cerita-cerita membentuk satu benang merah. Memperlihatkan keterkaitan. Memperkuat kesadaran akan adanya shared values yang berkaitan dan sejalan."

"Terus?"

"Dan ketika kita melihat benang merah itu, rasanya kita kok jadi lebih mudah untuk bisa menerima perbedaan. Perbedaan yang kerap tampak di permukaan. Karena meski luarnya tampak beda. Tapi apa yang ada di dalam sebetulnya sejalan dan searah."

"Oh, gitu ya."

"Coba deh, kak. Pikirkan sebuah pengalaman yang berkesan. Ketika kita terlibat dalam satu kegiatan di Mahitala. Lalu jawab pertanyaan-pertanya an tadi."

"Buat apa?"

"Paling tidak buat untuk mengingatkan bahwa ber-Mahitala adalah suatu kesempatan untuk menempa jiwa raga. Tempat untuk belajar. Mengembangkan diri. Ber-eksperimen. Membuat kesalahan dan dibimbing untuk memperbaikinya. Tempat untuk saling berbagi ide."

"Tempat untuk belajar menghargai perbedaan. Memperbolehkan perbedaan. Mendorong adanya perbedaan. Sehingga kita terbiasa dengan adanya perbedaan-perbedaan " sambung Odie. "Kata-kata ini saya lupa ngambil dari mana."

"Seperti orkestra. Alat musiknya beda-beda. Suara yang dikeluarkan juga beda. Tapi kalau dimainkan dengan selaras dan serasi, hasilnya enak terdengar. Bukan hanya di telinga, tapi di hati juga." kata Butawa.

"Dasar pemain biola." Monik memberi komentar.

Dahan-dahan pohon dan semak-semak tinggi bergoyang di tiup angin pagi yang bertiup agak kencang. Dingin. Tapi menyegarkan. Saya memandang ke puncak-puncak punggungan yang tampak berjajar di sebelah kanan. Udara cerah, sehingga pohon-pohon di hutan sana tampak jelas batang utamanya. Di langit ke arah Burangrang tampak seekor elang terbang tinggi. Berputar. Lalu meluncur ke balik punggungan.

Wisa menyiulkan potongan sebuah lagu. Tanpa sadar saya pun tergerak untuk menyanyikan liriknya. Di dalam hati. " …..Teruskanlah 'mangat bajamu, jaya Mahitala!"


Catatan:

Tulisan ini saya buat sebagai persembahan untuk rekan-rekan Mahitala dalam rangka dies natalies nya yang ke 33.

Tidak ada maksud apa-apa dari penulisan ini. Saya hanya ingin mengungkapkan ide-ide tentang Mahitala. Dan supaya ide-ide tersebut nggak lari kemana-mana. Makanya saya tangkap dan saya simpan dalam bentuk tulisan. Sekalian belajar menulis.

Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud memaksakan ide atau skenario tertentu. Kesan itu mungkin saja timbul dengan adanya beberapa nama yang saya libatkan. Karena itu, kepada rekan-rekan yang namanya terekam dalam tulisan ini, saya mohon maaf jika tindakan saya ini dirasa kurang berkenan di hati Anda sekalian.

Pada rekan-rekan yang telah memberikan respon atas tulisan ini. Saya amat berterima kasih. Dengan berat hati saya menahan diri untuk tidak memberikan tanggapan atas respon Anda sekalian. Menunggu sampai tulisan ini selesai. Bukan apa-apa. Saya hanya ingin ide-ide saya mengalir bebas. Dan netral.

Sehingga rekan-rekan bisa bebas menterjemahkan tulisan ini. Bisa dianggap sebagai cerita fiksi. Atau pengalaman nyata seseorang. Atau sebagai ide awal yang akan memancing timbulnya ide lain. Atau sebagai referensi atau ilmu (uff, uff saya merasa tersanjung kalau tulisan saya ini dianggap ada bau-bau keilmuan-nya) .

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda semua. Bagi Mahitala tercinta.

Sekarang, saya ingin mengucapkan terima kasih pada teman-teman saya atas respon dan komentarnya atas tulisan ini.

* Audy, halo. Salam kenal. Laporan Anda yang di posting di milis tentang Argopuro menjadi ide dasar tulisan saya.

* Sur, ide SAR Tulang Ular-nya memudahkan saya menyambungkan ide-ide saya yang liar kesana kemari. Sok atuh di-share.

* Budi Haha, saya selalu tersenyum kalau baca tulisan Anda di milis. Ide, usulan, dan umpan baliknya segar. Dan juga mencakup berbagai topik. Diklat, SAR, Winetou sampai ke penghijauan.

* Didiet, masih punya seragam cokelat-khaki?

* Mabror, damang? Saya baik-baik. Sekarang olah raga saya jalan kaki. Biar impact-nya lebih soft, cenah.

* Debby, hidup Garut! Rasanya masih jauh kalo dijadikan cerber mah.

* Bowo, mohon maaf kalau mas Bowo jadi kebawa-bawa.

* Tom, kumaha Bali? Suka ke pulau Jawa? Wah, jiga nu jauh wae.

* Sandra, apa kabar? Kalo keseringan, self-talk bisa bikin orang jadi gokil, ya?

Akhir kata, sekali lagi untuk semua rekan Mahitala …..Vivat Mahitala!!

21 June 2007

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA - Bagian V

PENDAKIAN KE PUNCAK-PUNCAK GUNUNG DI PEGUNUNGAN HIMALAYA

Bagian V :
Namche Bazaar (3440 M) – Tengboche (3860 M)
Jarak : 10 Km
Waktu Tempuh : 5 jam (normal)

Resham pheeree ree, Resham pheeree ree
Udeyra jaunkee dandaa ma bhanjyang
Resham pheeree ree
My heart is fluttering like silk in the wind
I can not decide whether to fly or to sit on the hill top
Ek naley bunduk, dui naley bunduk, mriga lai takey ko
Mriga lai mailey takey ko hoeina, maya lai dankey ko

One – barrelled gun, two – barrelled gun ? targeted at a deer ?
It’s not the deer that I am aiming at, but at my beloved.

Nepali Folk Songs
Stan Armington


“Resham pheeree ree” : lagu itu begitu popular, enak di dengar dan menyentuh kalbu di sepanjang perjalanan Himalaya trek yang kerap di dendangkan oleh para porter selama pendakian. Kadang-kadang kami ikut berdendang bersama mereka untuk menghibur diri sendiri. Terkadang di malam hari para porter bernyanyi dan menari di lengkapi alat musik semacam “kendang” kecil yang disebut : “madal”. Lantunan lagu itu begitu membekas.
Ternyata “Resham pheeree ree” amat membantu meningkatkan semangat pada etape Namche Bazaar – Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006, yang tidak kalah berat dari etape Phakding – Namche Bazaar, apalagi etape kali ini penuh debu kering berterbangan sepanjang jalan. Karena tidak membawa “masker” untuk hidung dan mulut yang memadai, saya hanya memakai syal / torniket Mahitala untuk menutup hidung dan mulut dari serbuan debu yang beterbangan, bercampur dengan kotoran kering yak.

Di etape ini akibat debu, saya mulai terserang radang tenggorokan yang berlanjut terus hingga ke Everest Base Camp dan “gangguan” ini amat mengganggu karena nantinya ketika radang tenggorokan makin parah, untuk menelan air minum tegukan pertama saja sangat sakit sampai keluar air mata.

Lepas dari Namche Bazaar jalanan mendaki tajam ke Chhorkung, baru jalanan datar “melipir” bukit ke kanan menuju jalan pintas ke Tengboche. Di tengah jalan kami beristirahat sebentar di salah satu “chorten” besar yang juga dibuat monumen besar peringatan 50 tahun pendakian Mt. Everest oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay (sebelum Kyangjuma – 3600 M). Di tempat ini kami bertemu : Perthemba Sherpa, salah satu “Sherpa” terkenal di Nepal, yang pernah di undang ke Indonesia untuk memberikan pengarahan mengenai pendakian ke Himalaya. Suasana sangat “heboh” ketika Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar minta tanda tangan dan foto bersama. Saya masih ingat Susanto minta celana panjangnya yang warna putih di tanda tangani. Perthemba Sherpa sosok yang ramah, rendah hati dan dengan sabar meladeni permintaan kami yang kadang-kadang konyol. Sepintas tidak nampak sebagai “Sherpa” terkenal yang juga telah banyak melahirkan buku-buku tentang pendakian gunung-gunung di Himalaya. Perthemba Sherpa sendiri telah beberapa kali ke Mt. Everest; tergabung dengan banyak ekspedisi besar. Saat itu Perthemba Sherpa sedang memimpin sekelompok pendaki Jepang.


Gambar 20 –
Chorten of Everest 50th Anniversary 1953 – 2003, Selasa 31 Oktober 2006

Di chorten “keramat” ini kami Tim EBC 2006 – Mahitala Unpar bertemu dengan Perthemba Sherpa.

Di chorten ini ada monumen keramat dengan tulisan :

Everest 50th Anniversary 1953 – 2003.

This chorten stands in honour of Tenzing Norgay and the Sherpas of Everest -
all true Tigers of the Snows

Without whose devotion, skill, courage and sacrifice the great mountain Chomolungma would never been climbed.

This chorten is built and blessed with the unerring support of Rolex - Geneva


Gambar 21 –
Perthemba Sherpa di chorten Everest 50th Anniversary, Selasa 31 Oktober 2006
Perthemba Sherpa dan BHP di chorten Everest 50th Anniversary dengan latar belakang Thamserku (6608 M)


Perjalanan dilanjutkan menuju Kyangjuma – 3600 M melipir tebing tinggi dengan lembah dalam di kanan kita dan tampak Dudh Kosi mengalir deras di dasar lembah. Kyangjuma dan Sanasa adalah dua desa yang bernuansa Tibet dan banyak di jual souvenir Tibet disana. Minum teh dan mie Nepal merupakan kenikmatan tersendiri setelah berjalan sepanjang pagi itu. Perjalanan hampir setengahnya, tinggal menuju Tashinga terus ke Phunki Tenga untuk makan siang.

Gambar 22 –
Salah satu etape antara Kyangjuma – Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006

Di sebelah kiri pada tebing-tebing terjal sering ditemui : “Himalayan Tahr” (rusa Nepal) sedang nongkrong, di sebelah kanan jurang curam & dalam dengan Dudh Kosi mengalir deras di dasarnya



Dari Sanasa (3600 M) jalanan menurun tajam, berbelok-belok menuju dasar lembah, menyeberang Dudh Kosi, naik sedikit dan tiba di Phunki Tenga – 3250 M. Kadang-kadang saya berpikir dan mengeluh : ……… edan juga dari Namche Bazaar susah payah naik ke Chhorkung (3540 M), naik turun sampai Kyangjuma, terus Sanasa (3600 M), sudah sampai di 3600 M turun ke tepi Dudh Kosi, naik lagi ke Phunki Tenga (3250 M) yang bahkan lebih rendah dari Namche Bazaar (3440 M). Kalau dibayangkan, jarak Phunki Tenga ke Tengboche hanya seperempat dari jarak Namche Bazaar ke Tengboche, tapi kami harus naik 610 M dari Phunki Tenga (3250 M) ke Tengboche (3860 M) dapat di pastikan akan ketemu “tanjakan maut” lagi yang edan seperti waktu naik dari Larja ke Namche Bazaar, waktu itu harus menanjak 700 M untuk sepenggal jalan.

Gambar 23 –
Rhododendron sebelum Phunki Tenga, Selasa 31 Oktober 2006

Rhododendron dengan warna merah cerianya banyak di temui tumbuh di tebing tinggi sebelum Phunki Tenga. Tanaman ini tumbuh di daerah Subalpine dengan ketinggian antara (3000 – 4000) M


Begitu tiba di Phunki Tenga, yang saya cari buru-buru adalah WC. Perut dari tadi sudah “berontak”. Saya sadar, gejala diare sudah dimulai, yang besar kemungkinan karena makan telur setengah matang dan proses masak air minum yang kurang matang di Namche Bazaar. WC hanya merupakan bangunan sementara dari kayu, dengan atap seng ukuran (2 X 3) M2, terletak di lereng tebing, bagian bawah dari papan dengan lubang untuk pembuangan kotoran (tinja). Tidak ada air, tissue atau yang lain, hanya tumpukan daun kering kasar warna coklat, ukuran panjang daun (4 – 5) Cm dan lebar (2 – 3) Cm. Sempat bingung juga melihat tumpukan daun-daun kering itu, berpikir apa fungsinya ? Apa benar untuk pembersih kotoran seperti fungsi kertas tissue karena tidak ada air ??... Atau juga sebagai penimbun kotoran (tinja) di bawah sana ??? Karena bawa tissue, saya pakai tissue untuk pembersih (bisa “hancur” pantat bagian bawah saya kalau pakai daun kering kasar tadi sebagai pembersih), sedangkan daun kering saya pakai menimbun kotoran dibawah. Lega sekali rasanya, kendati perut masih “bergolak” dan “mulas”.

Pemandangan di Phunki Tenga indah, restoran & lodge letaknya di tempat tinggi, di bawahnya ada anak sungai kecil.Kami beristirahat cukup lama untuk kumpulkan energi sebelum tanjakan maut ke Tengboche. Sieling ketika mau turun dari restoran terpeleset dan jatuh kebawah (ngegelinding), belakang kepala terbentur batu dan memar. Setelah ditolong Harry (Sherpa) dan beristirahat sebentar Sieling meneruskan perjalanan ke Tengboche dengan susah payah karena kepala pusing, mual dan ingin muntah. Gejala AMS pada Sieling mulai jelas terlihat yang dipicu (trigger) jatuh dari restoran dan kepala membentur batu. Sejak terjatuh Sieling terus muntah-muntah, terutama setelah minum atau makan.

Perjalanan dari Phunki Tenga ke Tengboche seperti dugaan, amat berat meskipun jaraknya pendek, kami harus mendaki 610 M terakhir untuk mencapai Tengboche lewat hutan setelah Phunki Tenga dan tebing curam dengan jurang dikiri dengan Dudh Kosi di lembahnya. Tanjakan maut itu benar-benar menguras stamina kami, bernafas menjadi sulit meskipun dibantu mulut. Terasa benar dada sesak karena oksigen yang menipis. Seringkali kami berhenti berjalan hanya sekedar untuk menarik nafas dalam-dalam dan menetralkan nafas yang mulai tersengal-sengal. Ketika saya masih “ribet” mengatur nafas dan berpaling kebawah, saya melihat sesuatu yang membuat saya tersenyum dan sekejab penat itu berangsur hilang dan nafas lebih teratur. Di kejauhan sana, masih dilembah saya melihat Carolina Djunaidi (Olin) dengan jaket birunya yang khas. Adikku yang satu ini, memang “top”, yang membuat saya suka tersenyum yaitu melihat badannya yang mungil sering terdorong kedepan karena di lehernya terngantung tas besar isi kamera digital Canon dengan lensa tele-nya, belum “seabreg” asesorisnya. Tampak selintas “lebih besar” tas kameranya dibanding badannya yang mungil, yang terkadang tampak “merepotkan”. Olin nama akrabnya pantang menyerah maju terus meskipun terkadang “terseok” dalam perjalanannya di Himalaya trek. Olin juga anggota Mahitala angkatan Cadas Halimun dengan latar belakang pendidikan arsitektur Unpar. Saat ini Olin berwiraswasta membuka kantor konsultan arsitek : Carolinaarchitect, bergerak dalam renovasi & membangun rumah / kantor dengan disain klasik – ekletik atau semi etnik minimalis. Di sela-sela kesibukannya masih mengajar di studio arsitektur Universitas Pelita Harapan sebanyak 2 kali seminggu @ 3 jam.

Olin memang ulet dan mau belajar, dalam perjalanannya ke Nepal olin rajin memotret detail bangunan kuno, baik bentuk disain atap, pintu, jendela dan segala pernak perniknya yang berguna bagi pekerjaannya, dunia arsitektur itu.

Gambar 24 –
Lhotse
(8501 M), Selasa 31 Oktober 2006

Tampak Lhotse Ridge dengan keindahan yang amat menawan di sore hari dalam perjalanan ke Tengboche


Pukul 17.00 saya tiba di Tengboche, “tanah suci” dan pusat peribadatan dari seluruh desa-desa di area Solukhumbu yang didominasi etnis sherpa. Selama berada di Tengboche dilarang membunuh makhluk apapun atau “menumpahkan darah” ke tanah. Pendatang diingatkan oleh Ngawang Tenzing Zangbu yang di yakini sebagai titisan dari Tengboche tokoh Buddha, bahwa Tengboche adalah “tanah suci” tempat untuk berdoa kepada Tuhan.

Gambar 25 –
Para
Lhama Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006

Dari kiri ke kanan : BHP, 3 Lhama Tengboche dan Olin (baris depan) berfoto bersama di pintu utama kuil Tengboche

Udara dingin menusuk tulang di Tengboche tidak menyurutkan semangat rekan-rekan untuk beraktivitas : Samsu dan Olin langsung ke kuil terbesar dan tertua di Solukhumbu area itu (selesai dibangun tahun 1919), Hani, Tisi dan Sani berburu foto matahari terbenam yang semburat cahayanya menerpa puncak Mt. Everest (Chomolungma) yang didampingi Lhotse tampak jelas dari Tengboche seperti lidah api lilin raksasa. Sedangkan Didiet dan George berburu ke warnet didepan Lodge tempat kami menginap. Pemandangan sore itu sangat spektakuler.

Gambar 26 –
Panorama sore ke Chomolungma (8848 M) dari Tengboche, Selasa 31 Oktober 2006

Sore yang indah itu kami beruntung, karena cuaca cerah sempat menikmati pesona senja pada puncak-puncak atap dunia. Tampak rembulan redup mulai menampakkan jati dirinya

Malam itu kami menginap di Himalaya Lodge & Restaurant, sambil menunggu makan malam kami berdesakan duduk di restoran yang hangat karena di kamar sangat dingin. Di restoran hangat karena ada perapian yang dinyalakan dengan bahan dasar kotoran yak yang dikeringkan (Dunk) yang dibuat mirip gumpalan gula jawa. Di ruang makan ada belasan pendaki asing (bule) yang terkagum-kagum melihat “keakraban” dan “kehebohan” kami. Saya masih ingat malam itu Samsu memijat sekujur badan saya terutama kedua lengan, punggung, pundak dan leher. Nyaman sekali, peredaran darah terasa lancar dan sekejab kelelahan hilang, selanjutnya beberapa rekan antri minta di pijat. Saya sempat nyeletuk; “Kalau kita tawarkan ke pendaki “bule” itu, dan ditarik US$ 50/orang, paling tidak bisa kantongi US$ 250 / setiap buka praktek”. Lumayan kan, rekan lain tertawa tetapi Samsu hanya tersenyum.

Malam itu sulit dilupakan, Sieling drop drastis karena hantaman AMS yang dipicu jatuh di Phunki Tenga dan siang itu sempat muntah sedikit cairan dan sisa makanan pagi. Sungguh menderita karena setelah jatuh, selalu muntah bila makan bahkan minum air pun. Karena seringnya muntah, maka tidak ada yang tersisa di perut, bahkan cairan pun sudah kosong, tinggal air liur saja. Menurut Sieling kepala berdenyut sakit seperti mau meledak, mual, lemas, dan telinga mendengung seperti gemuruh air terjun. Tidak ada yang dapat dilakukan selain berbaring dan muntah. Rekan lain heboh dan mencoba ingin membantu / menolong Sieling. Sebagian besar menganut teori tentang AMS, Sieling harus turun ke Phunki Tenga atau Namche Bazaar malam itu, ditemani rekan lain atau porter. Sieling menolak, sempat timbul ketegangan karena rekan-rekan lain menganggap Sieling bandel, keras kepala, tidak mau menurut…… dsb. Akhirnya setelah bersitegang dan “kompromi” diputuskan Sieling akan turun ke Namche Bazaar keesokan harinya ditemani Bhimsen Paneru salah satu porter handal & kuat.

Sieling kemudian cerita bahwa perjalanan turun dari Tengboche – Pungki Tenga – Namche Bazaar, Rabu 1 November 2006 itu bagai perjalanan di “neraka”. Pagi itu darah segar keluar dari hidung, nyaris tidak berhenti sepanjang hari itu dalam perjalanan ke Namche Bazaar, sampai Mingma Sherpani pemilik Himalaya Lodge di Tengboche jadi panik. Dalam perjalanan turun yang digendong porter, karena guncangan sepanjang jalan, kondisi Sieling makin memburuk, darah makin deras keluar dari hidung yang sebagian membeku setengah padat, bola mata sudah tidak ada warna putihnya, semua berubah merah karena pendarahan, kepala sakit karena pusing dan telinga “mendengung”.

Di tengah jalan bertemu sepasang pendaki “bule” yang ternyata dokter dan langsung memeriksa Sieling, suhu 39,5 C tapi badan mengigil kedinginan. Setelah mereka memeriksa Sieling dan melihat darah “belepotan” ‘di pakaian, mereka geleng-geleng kepala dan berkata: “Sorry Mam, you can’t survive, sorry” dan mereka setelah memberi beberapa obat (Dexamethasone / Decadron ???) terus melanjutkan perjalanannya, setelah mencatat data Sieling dan alamat First Environmental Trekking Pte.

Saya bisa membayangkan betapa “hancur” nya perasaan dan hati Sieling di tengah penderitaannya dan merasa di tinggalkan oleh teman-teman seperjalanannya. Sampai di Namche Bazaar langsung dibawa ke dokter yang punya apotik itu, diperiksa, darah sudah berhenti dan kondisi Sieling stabil, dokter bilang Sieling sudah baikan, tidak apa-apa hanya perlu istirahat. Setelah istirahat 2 hari di Namche Bazaar kondisi Sieling hampir pulih. Terbukti bahwa pengobatan yang paling manjur terhadap AMS adalah turun ke tempat rendah secepat mungkin.

Belakangan baru diketahui bahwa Sieling menolak turun malam itu bukan karena sakit akibat AMS atau bandel, tetapi karena : … … Sieling takut kegelapan … … ya ampun … … masalah semalam jadi tegang hanya karena ada yang takut gelap.

Malam itu saya merasa capai, mungkin juga karena pengaruh perut mulas yang cukup mengganggu selama perjalanan hari ini. Tanjakan lepas Phunki Tenga ke Tengboche cukup menguras stamina, untungnya setelah istirahat dan makan malam stamina mulai pulih. Tampak Hani, Tisi dan Didiet agak membaik setelah mampu “bertahan” dalam medan sulit hari ini. Keputusan mereka bertiga untuk mempergunakan kuda di sebagian etape hari ini sangat bijaksana, paling tidak mereka dapat “bertahan” untuk etape berikutnya.

Perjalanan belum setengah jalan dan medan di hari-hari mendatang semakin berat, terutama hawa dingin dan tipisnya udara, saya berkesimpulan bahwa hanya semangat tinggi dan daya tahan yang membuat kami dapat menyelesaikan perjalanan ini … … … Let’s finish this trip and back to Indonesia alive in one pieces … …

Namaste,
Budi Hartono Purnomo

M-78188 AS